This kind of image appear in my mind when I listened to The Meaning of Love. So far away and strange, a brave new world. Desert like landscape. Bravo Joe Satcha!

Abstract

In this piece of writing I explore Don Ihde’s thought on phenomenology of instrumentation. World as poiesis. I’ll try to describe the new public perception constructed by technology. In sub theme, I write Ihde’s plurikultural world which explain how imaging technology create our consciousness that we live in such a world.

Dunia Sebagai Poiesis:

Don Ihde dan Filsafat Teknologi

Oleh: Budi Hartanto

Manusia mempelajari alam dan dirinya untuk menggapai berbagai macam kemudahan. Teknologi kemudian digunakan untuk mengatasi banyak kesulitan manusia dalam menghadapi dunianya. Teknik menjadi kata kunci dari teknologi.

Dalam traktat filsafat Heidegger teknologi juga berarti sebentuk penyingkapan. Ia menulusuri akar kata teknologi sebagai techne, dari filsafat klasik, teknologi dijelaskan tidak hanya sebagai yang bersifat teknis atau sebentuk artisan (kerajinan tangan), tapi juga sebuah poiesis—seni mengungkap sesuatu yang baru. Teknologi dalam arti ini bersifat puitis. Revolusi Copernican misalnya memberikan kita penjelasan tentang karakter poiesis dalam teknologi. Pandangan dunia setelah revolusi ini berubah. Bumi yang sekian lama menjadi pusat alam semesta tergantikan oleh Matahari. Galileo dengan teknologi optiknya menguatkan revolusi dalam ilmu pengetahuan ini.

Bagaimana teknologi mentransformasikan cara pandang manusia tentang dunianya merupakan tema yang menarik untuk direfleksikan, terutama ketika transformasi pengalaman perseptual menjelaskan karakter poiesis dalam teknologi. Demikian pula ketika dipahami adanya relasi antara teknologi dengan kebudayaan. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mendedahnya lewat pemikiran Don Ihde.

Don Ihde adalah filsuf yang memperkenalkan fenomenologi kepada publik Amerika, ia juga banyak menulis tentang filsafat sains dan teknologi. Buku-bukunya yang ditulis tentang filsafat teknologi diantaranya adalah: Technic and Praxis (1979), Technology and the Lifeworld (1990), Instrumental Realism: The Interface beetween Philosophy of Science and Philosophy of Technology (1991), Bodies in Technology (2002). Menurut informasi ia sedang menyelesaikan proyeknya yang bertema Imaging Technology: Plato Upside Down.

Don Ihde melihat bahwa dunia kehidupan sekarang telah berubah secara persepsional, dan ini menurutnya tak lepas dari perkembangan artifak teknologi. Instrumen telah mentransformasikan pengalaman manusia tentang dunianya. Bagaimana hal ini dapat dipahami? Ia mengambil contoh penggunaan teleskop. Sebelumnya tidak kita ketahui terdapat gunung-gunung dan ceruk kawah di permukaan bulan. Namun lewat teleskop diketahui bulan dalam bentuknya seperti seolah-olah kita melihat dalam jarak yang dekat. Lewat artifak teknologi, citra bulan kemudian terbentuk, dipahami dan menjadi rasional dalam kesadaran publik. Tanpa disadari sebenarnya pengalaman manusia yang didapat lewat instrumen telah membentuk dunia itu sendiri. Secara apriori manusia menerima sebuah pandangan dunia yang termediasikan secara teknologis.

Ketika dunia dipahami secara perseptual lewat artifak teknologi, maka pengalaman manusia berubah. Proses transformasi pengalaman ini dijelaskan oleh Don Ihde lewat fenomenologi instrumentasi: yaitu metode fenomenologi yang menempatkan instrumen sebagai ekstensi dari kemampuan inderawi tubuh manusia. Fenomenologi instrumentasi merupakan inti gagasan filsafat teknologi Don Ihde yang menjelaskan bagaimana pengalaman inderawi manusia secara intensional dan perseptual berekstensi lewat artifak teknologi (1979: 3-40).

Agar lebih mudah memahami fenomenologi instrumentasi ada baiknya kita lihat kembali secara sekilas apa yang dimaksud dengan fenomenologi dan juga tanggapan Don Ihde yang kemudian memunculkan istilah posfenomenologi. Untuk memahami fenomenologi memang memerlukan kajiannya tersendiri. Kita bisa membaca, misalnya, filsafat Edmund Husserl atau lebih eksploratif lagi Heidegger dan juga Maurice Merleau-Ponty. Terlepas dari rumitnya konsep fenomenologi sebenarnya dapat kita pahami maknanya secara sederhana. Fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode untuk memahami relasi manusia dengan dunia sebagai struktur yang terberi, dengan pengandaian bahwa tak ada teori atau asumsi-asumsi yang mendasarinya, ini berbeda dengan kecenderungan filsafat modern yang dalam beberapa hal melihat dunia secara konstruktif-epistemologis. Dengan fenomenologi dapat kita mengerti bahwa perspektif subjek selalu bersifat intensional atau tertuju pada sesuatu.

Don Ihde memahami fenomenologi lebih luas dari sekedar relasi subjek atau ego terhadap dunia seperti dalam filsafat Husserl. Ia menggunakan istilah posfenomenologi untuk menjelaskan bahwa tubuh dan instrumen yang bersifat relasional adalah subjek yang memahami dunia secara eksistensial. Kemenubuhan (embodiment) menggantikan kesadaran/ego/cogito dalam konteks fenomenologi filsafat Husserl. Jadi bukan aku yang berada dalam tubuhku, melainkan tubuhku sebagai aku itulah yang memahami dunia. Menurut Don Ihde tak ada inner man atau being inside the box (analogi Camera Obscura: proyeksi imaji dalam ruang gelap) dalam konteks Cartesianisme, kemenubuhan (embodiment) telah menggantikan subjektivitas dalam nalar Cartesian (2003: 11-12).

Relasi kemunubuhan antara manusia dan dunia menjadi pra-kondisi sebuah relasi yang bersifat instrumental. Relasi yang bersifat intensional ini menjadi syarat untuk memahami fenomenologi instrumentasi, karena fenomenologi instrumentasi mensyaratkan terbentuknya sebuah struktur pengalaman. Setelah struktur pengalaman secara fenomenologis telah dipahami, barulah terbuka kemungkinan hadirnya dunia yang lain, dunia yang secara intensionalitas mewujud secara instrumental. Kesadaran tentang dunia yang terbentuk dalam hal ini dimediasikan oleh instrumen. Manusia mengakses dunia lewat instrumen, lewat instrumen persepsi manusia ditransformasikan. Diagramnya dapat digambarkan demikian:

Manusia  ————>      Instrumen      ———->     Dunia

Seperti Galileo melihat planet-planet lewat teleskop, dunia yang dihadirkan oleh teleskop itulah dunia yang tercipta secara perseptual fenomenologis sebagai kesatuan relasional manusia-instrumen-dunia, demikian pula ketika membaca suhu lewat thermometer. Artifak teknologi menjadi medium untuk memahami dunia pengalaman.

Realisme Instrumental

Lewat fenomenologi intrumentasi dipahami bahwa dunia mewujud lewat instrumen, dan inilah poiesis dalam konteks Heideggerian. Sebuah poiesis dimengerti ketika secara ontologis terbentuk sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam kosmologi modern, biologi molekular dan fisika partikel terdapat dunia yang dihadirkan lewat sistem instrumentasi. Dunia dalam konteks ini dikonstitusikan secara instrumental lewat teknologi optik. Karenanya ia mewujud sebatas visual saja atau ia tercipta dalam dua dimensi.

Kendati perkembangan teknologi sekarang memungkinkan tercipta sensor-sensor lainnya, seperti probe (atau robot) yang dikirim ke planet Mars yang bisa menganalisa topografi atau mengukur suhu, namun tetap saja teknologi selalu mengandaikan adanya proses transformasi perseptual. Ini tentu berbeda dengan kecenderungan, seperti kata Don Ihde, kita untuk memahami situasi perseptual yang sifatnya global dan langsung (1979: 79). Di sini kita dapat mengerti bahwa karakter intensionalitas manusia yang tertuju pada dunia pada dasarnya selalu ingin transparan, alamiah atau tak termediasikan oleh instrumen.

Imej atau simbol yang telah mewujud adalah teknologi dalam arti techne, seturut dengan poiesis, sebuah penyingkapan, yaitu ketika dunia yang hadir secara instrumental kemudian menjadi kepercayaan publik. Imej atau simbol yang dihasilkan oleh instrumen kemudian menjadi apa yang Ihde sebut sebagai makroperseptual atau pandangan dunia yang bersifat kultural (1990: 38).

Namun demikian dalam konteks posfenomenologi secara mendasar kita pahami bahwa relasi instrumental manusia dan dunia adalah relasi kemenubuhan. Sebuah relasi yang menjelaskan tentang moda pengenalan dunia inderawi, Ihde menggunakan istilah mikroperseptual untuk moda pengenalan ini. Dokter gigi yang merasakan permukaan gigi lewat probe atau telpon yang kita pakai misalnya adalah contoh relasi kemenubuhan. Instrumen bukanlah ranah yang dituju atau objek pengalaman itu sendiri. Instrumen dalam arti tertentu telah menjadi ekstensi dari tubuh.

Persepsi manusia berkembang lewat pengalamannya menggunakan artifak teknologi. Bila dalam pemikiran Merleau-Ponty dunia terus terbentuk secara perseptual lewat dinamika pengalaman kemenubuhan, Don Ihde lewat fenomenologi instrumentasi melihat lebih luas dari itu, walaupun Merleau-Ponty telah mensinyalir hal ini, dunia menurut Don Ihde terbentuk dan berkembang secara perseptual lewat pengalaman manusia menggunakan artifak teknologi. Aktivitas kemenubuhan yang menjadi syarat terwujudnya dunia pengalaman kemudian diperluas lewat pengunaan instrumen. Dengan instrumen misalnya kita dapat mengukur suhu yang melebihi batas normal yang dapat diterima oleh tubuh. Pengetahuan perseptual inderawi telah berkembang seiring dengan berkembangnya artifak teknologi.

Sains seperti kita ketahui berkembang seiring dengan sistem instrumensi. Sains kontemporer, yang juga biasa disebut teknosains, selalu mensyaratkan penggunaan teknologi dalam setiap penelitian-penelitiannya, terutama teknologi optik yang kini telah menyingkap batas-batas dunia kehidupan.  Berpijak pada sistem visualisasi teknologis sains kemudian menemukan bentuknya seperti yang kita ketahui sekarang, yang kemudian membentuk makropersepsi kita tentang dunia kehidupan.

Tak dapat dipungkiri worldview dunia saintifik yang dikonstitusikan oleh teknologi (instrumen/mesin) telah menjadi pandangan kultural masyarakat modern. Secara fenomenologis dunia yang kita pahami secara mendasar adalah dunia teknologis. Ia hadir lewat proses transformasi pengalaman perseptual yang dimediasikan oleh instrumen.

Kecenderungan ini bahkan telah membawa pada semacam visualisme dalam sains. Don Ihde melihat bahwa perkembangan sistem instrumentasi (terutama teknologi optik) yang bermula pada Galileo telah mereduksi pengetahuan sebatas visual saja. Menurut Don Ihde kemunculan visualisme juga tak lepas dari sosok Leonardo da Vinci yang terkenal dengan gambar-gambar anatomi tubuhnya dan juga ditemukannya teknologi fotografi (2002:37-49). Ada kecenderungan untuk memvisualisasikan setiap pencapaian pengetahuan, padahal pengetahuan tak bisa direduksi sebatas visual, ada kualitas inderawi lainnya yang mensyaratkan keutuhan pengetahuan.

Teknologi telah mengungkap dunia dalam wujudnya yang termediasikan, dalam istilah Don Ihde, inilah ’realisme instrumental’. Realisme instrumental tentulah tidak terbatas pada dunia yang mewujud secara representatif-teknologis. Seperti misalnya dunia yang ditampilkan oleh teknologi optik. Realisme instrumental dalam pemikiran Don Ihde menjelaskan bahwa dunia yang dihadirkan oleh teknologi adalah nyata. Pengalaman manusia yang didapat lewat instrumen teknologi menjelaskan bahwa kenyataan benar-benar dirasakan keberadaannya.

Dunia Plurikultural

Analisis Don Ihde tentang realisme instrumental yang membentuk persepsi secara makro telah membawa kita pada gagasan tentang dimensi sosial dan kultural dari sains dan teknologi. Dari sini kemudian mengemuka sebuah proposisi bahwa teknologi bersifat kontekstual terhadap kebudayaan, teknologi (instrumen) tercipta secara kultural. Karena itulah ia inheren dengan kebudayaan. Nilai praktis teknologi dalam setiap kebudayaan boleh dibilang berbeda-beda.

Di China pada awalnya jam digunakan sebagai kalender astrologis untuk kepentingan imperialistik. Sampai abad 16 M, ketika para Jesuit memperkenalkan jam dalam bentuknya yang kompleks ke China, penunjukan waktu tetap merujuk pada sesuatu yang bersifat kultural. Jam dalam bentuknya yang modern menarik perhatian sebagai objek mekanis atau mesin yang mempunyai daya seni. Padahal ensensi dari jam itu sendiri telah dikenal di China sejak satu abad sebelum Masehi (1990: 28). Demikian pula suku-suku tertinggal di Afrika yang melihat jam sebatas perhiasan, nilai praktis-fungsional jam tidak mereka dipahami.

Kebudayaan menjadi inheren dengan teknologi karena esensi teknik yang dipahami oleh setiap kebudayaan berbeda-beda. Dengan demikian boleh dibilang tak ada teknologi (teknik) dengan makna universal. Pemaknaan atas teknologi yang berbeda-beda dalam setiap budaya menjelaskan bahwa teknologi bersifat kontekstual terhadap kebudayaan.

Teknologi sebagai kebudayaan merupakan fenomena yang dipahami dalam konteks posmodernitas. Permasalahan transfer teknologi dan juga terbentuknya budaya global lewat teknologi-imaji (imaging technology) memberikan sebuah tilikan bagaimana teknologi telah mengkonstruksikan sebuah dunia secara terfragmentasi. Don Ihde menggunakan istilah plurikultural untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu ketika dunia hadir secara teknologis dalam sebuah medium sehingga terciptalah imej kultur global. Lewat artifak teknologi, seperti televisi, kamera foto, cinema dan juga tentunya komputer, imej diproduksi dan direproduksi (1990: 166).

Lewat logika plurikultural, persepsi tentang ruang meluas. Dan ini tentunya tidak hanya dalam ranah mikropersepsi, tapi juga makropersepsi. Imej tentang keberagaman budaya lewat artifak teknologi membentuk makropersepsi manusia tentang dunia yang dihidupinya. Tersingkapnya bagian-bagian dunia (natur dan juga kultur) yang sebelumnya tak pernah kita lihat dan pahami, memberikan pemahaman bahwa persepsi manusia tentang dunianya terus berkembang. Berkenaan dengan hal ini Don Ihde memberi contoh majalah National Geographic yang telah banyak membentuk persepsi tentang dunia-kehidupan.

Plurikulturalitas membentuk secara perseptual sebuah dunia dengan beragam bentuk budaya yang dipahami secara teknologis. Di sini pengalaman tereduksi sebatas imej saja. Kebudayaan direpresentasikan oleh artifak teknologi, plurikulturalitas kemudian menjadi sebuah gestalt yang menjelaskan bahwa kita hidup dalam dunia yang terfragmentasi secara teknologis.●

 

Daftar Bacaan  

Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays, diterjemahkan oleh W. Lovitt, Harper and Row, New York

Ihde, Don, (1979). Technic and Praxis, D Riedel Publishing Company, Holland/Boston: USA

———–,  (1990). Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth, Indiana University Press, Bloomington/Indianapolis

————, (1991). Instrumental Realism: The Interface beetween Philosophy of Science and Philosophy of Technology, Indiana University Press, Bloomington/Indianapolis

————, (2003). Postphenomenology—Again?, Working paper from centre of STS studies no. 3, University of Aarhus

Selinger, Evan, (2008), Introduction to Postphenomenology Discussion, Techné: Research in Philosophy and Technology, Special Issue, Postphenomenology: Historical and Contemporary, Volume 12 Number 2 Spring 2008 Techne.