Image

 

Resensi Buku

Judul buku: Kematian: Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan

Penulis: Muhammad Damm

Penyunting: Geger Riyanto

Penerbit Kepik. Depok

Jumlah halaman: 124

November 2011

  

Menelaah Kematian Eksistensial

Oleh: Budi Hartanto

Buku karya Muhammad Damm ini membahas konsep kematian dalam bingkai filsafat manusia. Membahas kematian biasanya memang tabu, sakral dan menakutkan, namun dengan gaya bahasa filsafat popular Muhammad Damm membuat kematian menjadi sesuatu yang biasa dan tidak menakutkan. Argumen-argumen dikemukakan dengan mengacu pada realitas sosial tanpa mengurangi kedalaman pemikirannya.

Kematian menurut Muhammad Damm pada dasarnya dapat dipahami sebagai konstruksi sosio-kultural. Ia secara filosofis membedakan kematian tubuh sosial dengan tubuh korporeal atau tubuh sebagai sekumpulan sel-sel atau organisme yang mensyaratkan kehidupan. Seseorang dapat dikatakan mati ketika tubuh sosialnya tak lagi dapat berinteraksi. Namun dalam tataran sel-sel dan tubuh sebagai organisme belum tentu seseorang dikatakan mati. Inilah menurutnya ambiguitas yang kemudian muncul ketika mendefinisikan kematian.

Dengan merujuk pada pemikiran Steven Luper dalam karyanya Philosophy of Death (2009) kematian dijelaskan oleh Muhammad Damm menjadi tiga bentuk berakhirnya kehidupan manusia. Yang pertama adalah kematian yang dipahami sebagai penyelesaian dari proses sekarat, ia menyebutnya (denouement death). Kedua kematian dipahami sebagai awal dari proses sekarat, yaitu ketika tidak lagi ada harapan untuk hidup (treshhold death). Yang terakhir adalah hilangnya kemampuan organisme untuk mengintegrasikan fungsi tubuh manusia (integration death). Dari tiga bentuk kematian ini ia kemudian mengajukan gagasan tentang kematian eksistensial. (2011, hal. 44-45).

Kematian eksistensial membentuk sebuah proposisi bahwa seseorang dapat dikatakan ‘hidup tapi mati’, yaitu ketika secara definitif tak ada lagi batas-batas antara hidup dan mati. Teknologi bidang medis dan kedokteran misalnya menjelaskan fenomena ini. Dengan bantuan teknologi tubuh korporeal dapat tetap hidup. Demikian pula orang yang hilang tubuh atau jasadnya. Secara sosial boleh jadi ia masih hidup, namun ketiadaan tubuh korporealnya dapat membuatnya dikatakan mati. Dengannya kita pahami bahwa pikiran atau jiwa tidaklah terbatas pada tubuh, tapi lebih luas dari itu, ia termanifestasikan ke dalam cakrawala eksistensi sebagai realitas sosial. Gagasan kematian eksistensial kemudian mendekonstruksi kematian sebagai negativitas; yaitu momentum ketika lenyapnya dunia-kehidupan individu sebagai tubuh sosial sekaligus tubuh korporeal.

Walaupun menjelaskan banyak hal berkenaan dengan kematian menurut saya buku ini belum cukup memberikan penjelasan perihal misteri kematian. Kehidupan setelah kematian misalnya menjadi rasional hanya dari perspektif agama-agama saja. Dan ia terkait dengan eksistensi jiwa atau ruh sebagai variabel dari ‘dunia-kehidupan’ itu sendiri. Menjelaskan kematian memang akan berakhir pada gagasan tentang kematian sebagai obyek pengetahuan; dalam konteks ini adalah ketika terlepasnya entitas yang dinamakan jiwa atau ruh. Ini saya pikir sama saja dengan sejarah sains dan filsafat yang dipahami sebagai aktifitas mengungkap rahasia-rahasia alam semesta.

Namun demikian Muhammad Damm dengan baik mensiasatinya dengan menjelaskan kematian sebagai sesuatu yang bersifat eksistensialistik. Kematian adalah state of mind yang hanya dirasakan oleh eksistensi sebagai the Other seperti tersebut dalam pemikiran filsafat Emmanuel Levinas. Dalam konteks inilah kematian secara filosofis menjadi tak terdefinisikan.

Sebagai sebuah refleksi filsafat buku ini menarik dibaca. Pemikirannya lugas dan ringkas. Saya kira pas untuk orang-orang yang terlalu sibuk membaca sebuah karya filsafat. Tema yang disampaikan juga relevan dengan kondisi politik dunia yang selalu mengabarkan kematian.•