spirit_roverOne Robot’s Dream is Joe Satriani’s star guitar melodic from Super Colossal album. This song is quite outlandish. When I listen to this song, I get a strange impression about the night.  Crowded night, on earth, night from satellite… it seems to me full of robots, watching, spying, and stalking in the dark.

So let there be hidden rhizomes for a new light.

Sebuah Diskursus Tentang

Kecerdasan Buatan

Oleh: Budi Hartanto (Peminat Filsafat Sains dan Teknologi)

 

Abstract

Mind over body, body over mind, mind and body or only mind, only body. I think philosophy now has already hit its limits. This article is about philosophy and a problem of Artificial Intelligence from John Searle’s Chinese Room Argument. I have an inference that intelligent, from Cartesian to Merleau-Pontean bodily non representational, from conceptual to moral, finally intuitive and instinctual (Dreyfus). For that reason, rationality as a basic form of intelligence in my opinion is still an essential subject. What rationality? I wrote in this article three definitions of rationality from Rorty’s article on a pragmatist view of rationality and cultural difference. The third definition interestingly proposes that rationality is freedom and tolerance.

Apa yang khas dalam filsafat adalah kajian tentang realitas dan pikiran. Sejak Plato sampai Descartes dan terus berlanjut sampai para filsuf kontemporer keduanya menjadi fokus pembelajaran tentang bagaimana manusia memahami dunia dan dirinya. Bahkan revolusi kesadaran yang kita kenal dengan Enlightment pada abad 18 menempatkan pengetahuan tentang ini sebagai tolak ukurnya.

Descartes misalnya melihat pikiran sebagai penentu sebuah kebenaran. Sebelum manusia menyadarinya maka sebagai subjek ia tak akan bisa meraih keautentikan dan kebenaran. Dalam Meditations ia menjelaskan bahwa pikiran dapat dipahami dengan pertama-tama meragukan (menghapus) keberadaan semua objek (tubuh/materi/realitas), setelah itu barulah ia sampai pada titik ketika ia tak bisa meragukan ‘aku’ yang meragukan. ‘Aku’ sebagai pikiran inilah yang sentral dalam filsafat Descartes. Kant kemudian melengkapinya dalam traktat filsafatnya, ia berpendapat bahwa pikiran mempunyai kategori-kategori yang menegaskan dimensi kemanusiaan dari manusia.

Sekarang kita hidup dalam peradaban teknologi, kajian tentang pikiran telah meluas ke dalam banyak bidang seperti psikologi (ilmu kognitif), biologi (neurosains) dan ilmu komputer. Yang menarik dari peradaban teknologi yang sekarang kita hidupi adalah terciptanya kecerdasan buatan atau AI. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) menjelaskan tentang bagaimana mesin atau komputer dalam arti tertentu berpikir dan berprilaku layaknya manusia.

Kita mengetahui AI dalam fiksi sains. Banyak novel atau film mengkisahkan tentang eksistensi cyborg, robot dan super komputer yang memiliki identitas dan kesadaran seperti manusia, secara kultural ia telah melekat dalam kesadaran publik. Untuk itu adalah wajar bila kita ketengahkan sebuah pertanyaan apa benar fenomena ini dapat menjadi kenyataan atau sejauhmana ia menjadi kemungkinan filosofis yang bersifat rasional.

Pertanyaan sejauh mana dapat kita putuskan apakah mesin itu mempunyai kecerdasan atau tidak, dirumuskan oleh Alan Turing pada tahun 1950-an. Alan Turing adalah seorang matematikawan yang terkenal karena berhasil memecahkan kode rahasia Jerman dalam Perang Dunia II. Ia membuat sebuah mesin atau program, dikenal dengan mesin Turing, yang berfungsi untuk mensimulasikan bentuk-bentuk kalkulasi matematis sehingga dapat didefinisikan sebagai kecerdasan. Ia juga membuat sebuah konsep yang dikenal sebagai Turing test yang ditujukan untuk mengetahui apakah sebuah mesin dapat berpikir atau tidak. Test Turing ini dapat dijelaskan demikian: pertanyaan ditujukan pada mesin atau program komputer dan manusia yang berada dalam ruang yang berlainan lalu masing-masing diberi pertanyaan, apabila keduanya dapat menjawab sehingga si penanya tidak dapat membedakan mana mesin dan mana manusia, barulah dapat dikatakan sebuah mesin atau komputer itu mempunyai kecerdasan atau lolos dari test tersebut.

Apakah mesin atau komputer dapat berpikir? Melihat perkembangan teknologi komputer dan pemograman secara tentatif bisa dibilang bahwa komputer itu telah dapat berpikir, seperti program catur misalnya. Tapi dapatkah ia mensimulasikan sebuah kesadaran sebagai subjek seperti manusia? Inilah problem yang tampaknya masih belum terselesaikan dalam diskursus AI.

Problem AI dan kaitannya dengan kesadaran dibahas oleh John R. Searle dalam bukunya The Mystery of Consciousness (1997) dan artikelnya yang berjudul Minds, Brains, and Programs (1980). John Searle melihat bahwa mesin memang dalam arti tertentu mempunyai kecerdasan. Tapi ia melihat bahwa mesin hanya memilikinya secara partikular dan fungsional (Weak AI). Mesin menurutnya tidak dapat mempunyai kesadaran sebagai subjek seperti manusia (Strong AI). Ia menjelaskan hal ini lewat argumen yang dikenal dengan Chinese Room Argument.

Chinese Room Argument merupakan sebuah argumen yang menjelaskan tentang fenomena ketika kita tidak lagi mengetahui secara programatis perbedaan antara mesin dan manusia. Argumen ini singkatnya dapat dijabarkan demikian: seseorang yang tak mengerti tulisan China atau huruf kanji ditempatkan dalam sebuah kamar yang terkunci. Ia diberikan setumpuk lembaran tulisan China, lengkap dengan lembaran yang berisi intruksi-intruksi dengan bahasa yang ia pahami. Setelah itu ia diberikan selembar cerita berisi pertanyaan dengan tulisan China yang tentunya tak ia pahami. Namun fakta menjelaskan ia dapat menjawabnya dengan melihat instruksi-instruksi dengan bahasa yang pahami. Instruksi menyatakan bahwa apabila pertanyaan seperti ini, ia mengenali bentuk huruf, maka jawablah seperti itu. Aktivitas tanya jawab dengan lembaran tulisan China mengandaikan bahwa orang yang berada di dalam kamar dapat memahami tulisan China, meski faktanya ia tak memahami. Si penanya tak pernah tahu bahwa ia tak dapat memahami tulisan China, karena ia dapat menjawab lembaran pertanyaan dengan lembaran jawaban dengan tulisan China.

Bila manusia dikonstitusikan dengan komputer dalam kaitannya dengan fenomena Chinese Room Argument, akan kita temukan kesamaan antara mesin dan manusia, yaitu ia sama-sama sebuah program atau bagian dari program itu sendiri. Namun bila kita telaah lagi akan kita temukan secara tentatif sebuah perbedaan. Dengan merujuk argumen di atas kita pahami bahwa manusia dan mesin sebagai sebuah program memahami sebatas bentuk, bukan makna. Menurut John Searle dalam bukunya The Mystery of Consciousness, lewat Chinese Room Argument dapat diproposisikan bahwa “semantik tidak intrinsik berada pada syntax, sehingga syntax tidak bersifat intrinsik terhadap bentuk fisik”. (John Searle, 1997: 17). Dari sini kita pahami bahwa makna sebuah kata dalam beberapa hal adalah misteri. Karena sebuah komputer atau program dapat memahami bentuk (sintaksis) dan menjawab dengan bentuk, seolah-olah ia memahami maknanya (semantik). Sama seperti seseorang yang berada dalam kamar yang tidak mengerti tulisan China, namun lewat sebuah program ia seakan-akan dapat mengerti.

Argumen John Searle memang telah memberikan penjelasan tentang fenomena robot atau super komputer yang dapat berpikir. Ia kemudian melanjutkan argumennya tentang bagaimana proses mengerti pada mesin dan manusia dapat dipahami. Apakah mesin dapat mengerti sebagaimana manusia mengerti? Karena kita sebagai manusia dapat mengerti dalam arti verstehen seperti dalam filsafat Kant. Pertanyaan kemudian dapat diajukan di sini: apakah pintu otomatis yang terbuka karena sinyal fotoelektrik dapat dikategorikan mengerti ketika kita akan memasukinya? John Searle melihat bahwa mesin seperti pintu otomatis tidak bisa dibilang mengerti seperti manusia mengerti. Ia membuat analogi tentang manusia yang mengerti sebuah bahasa, semisal cerita dalam bahasa Indonesia. Manusia yang mengerti cerita berbahasa Indonesia tidak sama dengan mesin yang mengerti dalam konteks gerak dan bentuk. Tentu ini akhirnya menjadi misteri, karena proses mengerti seperti halnya makna sebuah teks tak dapat dibuktikan. Karena itulah John Searle menolak Strong AI. Fenomena super-komputer menurutnya adalah hanyalah bagian dari kecerdasan yang bersifat fungsional atau populer dengan istilah Weak AI. (John Searle, 1997:17).

Permasalahan Strong AI memang akhirnya terletak pada masalah yang dalam filsafat dikenal sebagai hermeneutika. Hermeneutika adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana manusia memahami sebuah teks. Pemikiran John Searle tentang apakah mesin mengerti seperti halnya manusia mengerti adalah contoh problem hermeneutis. Roger Schank, ahli komputer dan ilmu kognitif, melihat bahwa mesin bisa mengerti seperti halnya manusia. Karena menurutnya tujuan sebuah program dibuat adalah mensimulasi kemampuan manusia untuk mengerti sebuah cerita. Secara literal dapat dikatakan bahwa mesin secara programatis dapat meniru manusia, namun seperti kita ketahui pendapat Schank disangkal oleh John Searle.

Ketidakmungkinan terciptanya Strong AI lewat Chinese Room Argument menjelaskan bahwa robot atau mesin pintar yang mempunyai pikiran dan kesadaran seperti manusia hanya berada dalam sebuah fiksi. Bahkan sekarang pikiran dalam beberapa hal tidak lagi menjadi unsur konstitutif dari kecerdasan, filsafat misalnya tidak lagi mempunyai kecederungan untuk melihat pikiran (cogito) sebagai kajian utamanya. Berakhirnya epistemologi dan kemudian tergantikan dengan hermeneutika diproposisikan oleh Richard Rorty, keutamaan tubuh dibandingkan dengan pikiran dalam memahami dunia dirumuskan dalam filsafat teknologi Don Ihde.

Sungguh menarik bahwa problem kecerdasan telah beralih dan kembali ke unsur yang lebih primordial seperti tubuh. Memang penggunaan pikiran sebagai satu-satunya agen untuk menentukan sebuah kecerdasan agak terdengar absurd. Karena pikiran mengungkapkan sesuatu secara representasional atau Cartesian, maka menggunakan pikiran sama seperti ketika kita menggunakan sebuah instrument. Telepon misalnya menjadikan suara sebagai unsur konstitutif dari manusia sebagai subjek, demikian pula dengan penggunaan pikiran, ia menjadi unsur konstitutif dalam memahami dunia pengalaman. Keutamaan tubuh telah menempatkan pikiran ke dalam hakikatnya sebagai sesuatu yang instrumental dan material seperti bagian tubuh lainnya. Neuroscience misalnya menjelaskan tentang bagaimana fenomena pikiran dan kesadaran dipahami sebagai sesuatu yang bersifat material.

Kesadaran yang dipahami lewat proses kemenubuhan menjadi sebuah tilikan bahwa kecerdasan (buatan) tentunya tidak semata-mata masalah pikiran. Seperti pernyataan Maurice Merleau-Ponty “I’m conscious of my body via the world… I am conscious of the world through the medium of my body”. Don Ihde dalam Bodies in Technology berpendapat dengan berpijak pada pernyatan Merleau-Ponty bahwa pikiran (cogito) lewat metode fenomenologi telah keluar dari tempatnya dan menubuh dengan dunia. (Don Ihde, 2002: 71-75).

Kemampuan tubuh untuk memperoleh kecerdasan dijelaskan oleh Hubert L. Dreyfus dalam tulisannnya A Phenomenology of Skill Acquisition as the basis for a Merleau-Pontian Nonrepresentationalist (2004). Ia menjelaskan fase-fase seseorang memperoleh sebuah keterampilan atau skill. Fase-fase ini bukan dalama arti pertumbuhan seseorang dalam memahami dunia, melainkan dalam arti ketika ia ingin mempelajari sebuah keterampilan yang sebelumnya ia tidak miliki. Dalam pemikiran Dreyfus pemahaman sebuah instruksi (programatis/memahami sebuah teks/konseptual) merupakan fase awal pemerolehan keterampilan. Seperti Chinese Room Argumen, intruksi sebuah teks menjadi unsur utama dalam mengatasi sebuah situasi. Dalam tahap-tahap pemerolehan keterampilan yang dirumuskan Hubert Dreyfus, dapat kita simpulkan bahwa pikiran merupakan unsur yang tetap focal dan tak dapat ditinggalkan. Namun yang menarik dalam fase pemerolehan keterampilan ini fase terakhir (expert) menjelaskan bahwa tubuh menjadi cerdas dalam menanggapi/melakukan sesuatu tanpa pikiran dan kesadaran.

Diskursus tentang AI memang menarik untuk direfleksikan. Terutama ketika manusia dipahami sebagai sebuah program. Ketika ia dipahami sebatas sebuah program tentunya nilai kemanusiaan telah tereduksi. Kamampuan sosial misalnya adalah unsur mendasar dari nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah dalam diskursus AI muncul istilah social intelligence yang menyatakan bahwa emosi dan kemampuan sosial adalah bagian integral dari kecerdasan. Contoh robot dengan kemampuan sosial adalah robot Kismet. Kismet adalah robot yang didisain oleh para ahli di MIT yang dapat mensimulasi emosi dan kecerdasan sosial. Robot ini mempunyai sistem audio, visual dan sistem ekspresi yang ditujukan agar dapat berinteraksi dengan manusia.

Berkaitan dengan social intelligent ini adalah menarik bila kita lihat pemikiran Richard Rorty tentang makna rasionalitas. Dalam artikelnya yang berjudul A Pragmatist View of Rationality and Cultural Difference ia membagi rasionalitas ke dalam tiga bentuk (Rorty, 1992). Pertama dalam konteks kemenubuhan, yaitu ketika rasionalitas dipahami sebagai kemampuan semua makhluk hidup untuk survive, kemudian rasionalitas dalam arti pikiran, sui generis pada manusia. Yang terakhir, rasionalitas dalam arti toleransi dan kebebasan. Kategori yang ketiga inilah menurut saya yang mencerminkan sebuah kecerdasan sosial (atau mungkin spiritual). Karenanya kecerdasan sebuah mesin tentulah tidak terbatas bagaimana ia dapat berinteraksi secara sosial atau mempunyai ekspresi dan emosi, seperti yang disimulasikan oleh Kismet, tapi lebih pada kemampuan bersikap persuasif dan toleran yang merupakan fragmen dari (misteri) kesadaran.●

Bibliografi

Descartes, René, “Meditation on First Philosophy”, Dalam kumpulan tulisan filsafat modern, Editor: Forrest E. Baird & Walter Kaufmann, Modern Philosphy, Volume III. 1997.

Dreyfuss, Hubert, “A Phenomenology of Skill Acquisition as the basis for a Merleau-Pontian Nonrepresentationalist (Socrates.Barkeley.edu/hdreyfus.htm.). 2004.

−−−−− & Dreyfus, Stuart, “From Socrates to Expert Systems: the limits and Dangers of Calculative Rationality (Socrates.Barkeley.edu/hdreyfus.htm.). 2004.

Ihde, Don, “Bodies in Technology”, Electronic Mediations; V. 5. Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2002.

Rorty, Richard, “A Pragmatist View of Rationality and Cultural Difference” Philosophy East & West, Volume XII, Oktober 1992.

Searle, John R, “Mystery of Concsiousness” The New York Review of Books, 1755 Broadway, 1997.

−−− “Consciousness and Language”, Cambridge University Press, 2002.

——“Minds, Brains, and Programs”, http://www.cup.cam.ac.uk. 1980.

Wikipedia, The free encyclopedia, en.wikipedia.org. 2008.