February 2010


This kind of image appear in my mind when I listened to The Meaning of Love. So far away and strange, a brave new world. Desert like landscape. Bravo Joe Satcha!

Abstract

In this piece of writing I explore Don Ihde’s thought on phenomenology of instrumentation. World as poiesis. I’ll try to describe the new public perception constructed by technology. In sub theme, I write Ihde’s plurikultural world which explain how imaging technology create our consciousness that we live in such a world.

Dunia Sebagai Poiesis:

Don Ihde dan Filsafat Teknologi

Oleh: Budi Hartanto

Manusia mempelajari alam dan dirinya untuk menggapai berbagai macam kemudahan. Teknologi kemudian digunakan untuk mengatasi banyak kesulitan manusia dalam menghadapi dunianya. Teknik menjadi kata kunci dari teknologi.

Dalam traktat filsafat Heidegger teknologi juga berarti sebentuk penyingkapan. Ia menulusuri akar kata teknologi sebagai techne, dari filsafat klasik, teknologi dijelaskan tidak hanya sebagai yang bersifat teknis atau sebentuk artisan (kerajinan tangan), tapi juga sebuah poiesis—seni mengungkap sesuatu yang baru. Teknologi dalam arti ini bersifat puitis. Revolusi Copernican misalnya memberikan kita penjelasan tentang karakter poiesis dalam teknologi. Pandangan dunia setelah revolusi ini berubah. Bumi yang sekian lama menjadi pusat alam semesta tergantikan oleh Matahari. Galileo dengan teknologi optiknya menguatkan revolusi dalam ilmu pengetahuan ini.

Bagaimana teknologi mentransformasikan cara pandang manusia tentang dunianya merupakan tema yang menarik untuk direfleksikan, terutama ketika transformasi pengalaman perseptual menjelaskan karakter poiesis dalam teknologi. Demikian pula ketika dipahami adanya relasi antara teknologi dengan kebudayaan. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mendedahnya lewat pemikiran Don Ihde.

Don Ihde adalah filsuf yang memperkenalkan fenomenologi kepada publik Amerika, ia juga banyak menulis tentang filsafat sains dan teknologi. Buku-bukunya yang ditulis tentang filsafat teknologi diantaranya adalah: Technic and Praxis (1979), Technology and the Lifeworld (1990), Instrumental Realism: The Interface beetween Philosophy of Science and Philosophy of Technology (1991), Bodies in Technology (2002). Menurut informasi ia sedang menyelesaikan proyeknya yang bertema Imaging Technology: Plato Upside Down.

Don Ihde melihat bahwa dunia kehidupan sekarang telah berubah secara persepsional, dan ini menurutnya tak lepas dari perkembangan artifak teknologi. Instrumen telah mentransformasikan pengalaman manusia tentang dunianya. Bagaimana hal ini dapat dipahami? Ia mengambil contoh penggunaan teleskop. Sebelumnya tidak kita ketahui terdapat gunung-gunung dan ceruk kawah di permukaan bulan. Namun lewat teleskop diketahui bulan dalam bentuknya seperti seolah-olah kita melihat dalam jarak yang dekat. Lewat artifak teknologi, citra bulan kemudian terbentuk, dipahami dan menjadi rasional dalam kesadaran publik. Tanpa disadari sebenarnya pengalaman manusia yang didapat lewat instrumen telah membentuk dunia itu sendiri. Secara apriori manusia menerima sebuah pandangan dunia yang termediasikan secara teknologis.

Ketika dunia dipahami secara perseptual lewat artifak teknologi, maka pengalaman manusia berubah. Proses transformasi pengalaman ini dijelaskan oleh Don Ihde lewat fenomenologi instrumentasi: yaitu metode fenomenologi yang menempatkan instrumen sebagai ekstensi dari kemampuan inderawi tubuh manusia. Fenomenologi instrumentasi merupakan inti gagasan filsafat teknologi Don Ihde yang menjelaskan bagaimana pengalaman inderawi manusia secara intensional dan perseptual berekstensi lewat artifak teknologi (1979: 3-40).

Agar lebih mudah memahami fenomenologi instrumentasi ada baiknya kita lihat kembali secara sekilas apa yang dimaksud dengan fenomenologi dan juga tanggapan Don Ihde yang kemudian memunculkan istilah posfenomenologi. Untuk memahami fenomenologi memang memerlukan kajiannya tersendiri. Kita bisa membaca, misalnya, filsafat Edmund Husserl atau lebih eksploratif lagi Heidegger dan juga Maurice Merleau-Ponty. Terlepas dari rumitnya konsep fenomenologi sebenarnya dapat kita pahami maknanya secara sederhana. Fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode untuk memahami relasi manusia dengan dunia sebagai struktur yang terberi, dengan pengandaian bahwa tak ada teori atau asumsi-asumsi yang mendasarinya, ini berbeda dengan kecenderungan filsafat modern yang dalam beberapa hal melihat dunia secara konstruktif-epistemologis. Dengan fenomenologi dapat kita mengerti bahwa perspektif subjek selalu bersifat intensional atau tertuju pada sesuatu.

Don Ihde memahami fenomenologi lebih luas dari sekedar relasi subjek atau ego terhadap dunia seperti dalam filsafat Husserl. Ia menggunakan istilah posfenomenologi untuk menjelaskan bahwa tubuh dan instrumen yang bersifat relasional adalah subjek yang memahami dunia secara eksistensial. Kemenubuhan (embodiment) menggantikan kesadaran/ego/cogito dalam konteks fenomenologi filsafat Husserl. Jadi bukan aku yang berada dalam tubuhku, melainkan tubuhku sebagai aku itulah yang memahami dunia. Menurut Don Ihde tak ada inner man atau being inside the box (analogi Camera Obscura: proyeksi imaji dalam ruang gelap) dalam konteks Cartesianisme, kemenubuhan (embodiment) telah menggantikan subjektivitas dalam nalar Cartesian (2003: 11-12).

Relasi kemunubuhan antara manusia dan dunia menjadi pra-kondisi sebuah relasi yang bersifat instrumental. Relasi yang bersifat intensional ini menjadi syarat untuk memahami fenomenologi instrumentasi, karena fenomenologi instrumentasi mensyaratkan terbentuknya sebuah struktur pengalaman. Setelah struktur pengalaman secara fenomenologis telah dipahami, barulah terbuka kemungkinan hadirnya dunia yang lain, dunia yang secara intensionalitas mewujud secara instrumental. Kesadaran tentang dunia yang terbentuk dalam hal ini dimediasikan oleh instrumen. Manusia mengakses dunia lewat instrumen, lewat instrumen persepsi manusia ditransformasikan. Diagramnya dapat digambarkan demikian:

Manusia  ————>      Instrumen      ———->     Dunia

Seperti Galileo melihat planet-planet lewat teleskop, dunia yang dihadirkan oleh teleskop itulah dunia yang tercipta secara perseptual fenomenologis sebagai kesatuan relasional manusia-instrumen-dunia, demikian pula ketika membaca suhu lewat thermometer. Artifak teknologi menjadi medium untuk memahami dunia pengalaman.

Realisme Instrumental

Lewat fenomenologi intrumentasi dipahami bahwa dunia mewujud lewat instrumen, dan inilah poiesis dalam konteks Heideggerian. Sebuah poiesis dimengerti ketika secara ontologis terbentuk sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam kosmologi modern, biologi molekular dan fisika partikel terdapat dunia yang dihadirkan lewat sistem instrumentasi. Dunia dalam konteks ini dikonstitusikan secara instrumental lewat teknologi optik. Karenanya ia mewujud sebatas visual saja atau ia tercipta dalam dua dimensi.

Kendati perkembangan teknologi sekarang memungkinkan tercipta sensor-sensor lainnya, seperti probe (atau robot) yang dikirim ke planet Mars yang bisa menganalisa topografi atau mengukur suhu, namun tetap saja teknologi selalu mengandaikan adanya proses transformasi perseptual. Ini tentu berbeda dengan kecenderungan, seperti kata Don Ihde, kita untuk memahami situasi perseptual yang sifatnya global dan langsung (1979: 79). Di sini kita dapat mengerti bahwa karakter intensionalitas manusia yang tertuju pada dunia pada dasarnya selalu ingin transparan, alamiah atau tak termediasikan oleh instrumen.

Imej atau simbol yang telah mewujud adalah teknologi dalam arti techne, seturut dengan poiesis, sebuah penyingkapan, yaitu ketika dunia yang hadir secara instrumental kemudian menjadi kepercayaan publik. Imej atau simbol yang dihasilkan oleh instrumen kemudian menjadi apa yang Ihde sebut sebagai makroperseptual atau pandangan dunia yang bersifat kultural (1990: 38).

Namun demikian dalam konteks posfenomenologi secara mendasar kita pahami bahwa relasi instrumental manusia dan dunia adalah relasi kemenubuhan. Sebuah relasi yang menjelaskan tentang moda pengenalan dunia inderawi, Ihde menggunakan istilah mikroperseptual untuk moda pengenalan ini. Dokter gigi yang merasakan permukaan gigi lewat probe atau telpon yang kita pakai misalnya adalah contoh relasi kemenubuhan. Instrumen bukanlah ranah yang dituju atau objek pengalaman itu sendiri. Instrumen dalam arti tertentu telah menjadi ekstensi dari tubuh.

Persepsi manusia berkembang lewat pengalamannya menggunakan artifak teknologi. Bila dalam pemikiran Merleau-Ponty dunia terus terbentuk secara perseptual lewat dinamika pengalaman kemenubuhan, Don Ihde lewat fenomenologi instrumentasi melihat lebih luas dari itu, walaupun Merleau-Ponty telah mensinyalir hal ini, dunia menurut Don Ihde terbentuk dan berkembang secara perseptual lewat pengalaman manusia menggunakan artifak teknologi. Aktivitas kemenubuhan yang menjadi syarat terwujudnya dunia pengalaman kemudian diperluas lewat pengunaan instrumen. Dengan instrumen misalnya kita dapat mengukur suhu yang melebihi batas normal yang dapat diterima oleh tubuh. Pengetahuan perseptual inderawi telah berkembang seiring dengan berkembangnya artifak teknologi.

Sains seperti kita ketahui berkembang seiring dengan sistem instrumensi. Sains kontemporer, yang juga biasa disebut teknosains, selalu mensyaratkan penggunaan teknologi dalam setiap penelitian-penelitiannya, terutama teknologi optik yang kini telah menyingkap batas-batas dunia kehidupan.  Berpijak pada sistem visualisasi teknologis sains kemudian menemukan bentuknya seperti yang kita ketahui sekarang, yang kemudian membentuk makropersepsi kita tentang dunia kehidupan.

Tak dapat dipungkiri worldview dunia saintifik yang dikonstitusikan oleh teknologi (instrumen/mesin) telah menjadi pandangan kultural masyarakat modern. Secara fenomenologis dunia yang kita pahami secara mendasar adalah dunia teknologis. Ia hadir lewat proses transformasi pengalaman perseptual yang dimediasikan oleh instrumen.

Kecenderungan ini bahkan telah membawa pada semacam visualisme dalam sains. Don Ihde melihat bahwa perkembangan sistem instrumentasi (terutama teknologi optik) yang bermula pada Galileo telah mereduksi pengetahuan sebatas visual saja. Menurut Don Ihde kemunculan visualisme juga tak lepas dari sosok Leonardo da Vinci yang terkenal dengan gambar-gambar anatomi tubuhnya dan juga ditemukannya teknologi fotografi (2002:37-49). Ada kecenderungan untuk memvisualisasikan setiap pencapaian pengetahuan, padahal pengetahuan tak bisa direduksi sebatas visual, ada kualitas inderawi lainnya yang mensyaratkan keutuhan pengetahuan.

Teknologi telah mengungkap dunia dalam wujudnya yang termediasikan, dalam istilah Don Ihde, inilah ’realisme instrumental’. Realisme instrumental tentulah tidak terbatas pada dunia yang mewujud secara representatif-teknologis. Seperti misalnya dunia yang ditampilkan oleh teknologi optik. Realisme instrumental dalam pemikiran Don Ihde menjelaskan bahwa dunia yang dihadirkan oleh teknologi adalah nyata. Pengalaman manusia yang didapat lewat instrumen teknologi menjelaskan bahwa kenyataan benar-benar dirasakan keberadaannya.

Dunia Plurikultural

Analisis Don Ihde tentang realisme instrumental yang membentuk persepsi secara makro telah membawa kita pada gagasan tentang dimensi sosial dan kultural dari sains dan teknologi. Dari sini kemudian mengemuka sebuah proposisi bahwa teknologi bersifat kontekstual terhadap kebudayaan, teknologi (instrumen) tercipta secara kultural. Karena itulah ia inheren dengan kebudayaan. Nilai praktis teknologi dalam setiap kebudayaan boleh dibilang berbeda-beda.

Di China pada awalnya jam digunakan sebagai kalender astrologis untuk kepentingan imperialistik. Sampai abad 16 M, ketika para Jesuit memperkenalkan jam dalam bentuknya yang kompleks ke China, penunjukan waktu tetap merujuk pada sesuatu yang bersifat kultural. Jam dalam bentuknya yang modern menarik perhatian sebagai objek mekanis atau mesin yang mempunyai daya seni. Padahal ensensi dari jam itu sendiri telah dikenal di China sejak satu abad sebelum Masehi (1990: 28). Demikian pula suku-suku tertinggal di Afrika yang melihat jam sebatas perhiasan, nilai praktis-fungsional jam tidak mereka dipahami.

Kebudayaan menjadi inheren dengan teknologi karena esensi teknik yang dipahami oleh setiap kebudayaan berbeda-beda. Dengan demikian boleh dibilang tak ada teknologi (teknik) dengan makna universal. Pemaknaan atas teknologi yang berbeda-beda dalam setiap budaya menjelaskan bahwa teknologi bersifat kontekstual terhadap kebudayaan.

Teknologi sebagai kebudayaan merupakan fenomena yang dipahami dalam konteks posmodernitas. Permasalahan transfer teknologi dan juga terbentuknya budaya global lewat teknologi-imaji (imaging technology) memberikan sebuah tilikan bagaimana teknologi telah mengkonstruksikan sebuah dunia secara terfragmentasi. Don Ihde menggunakan istilah plurikultural untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu ketika dunia hadir secara teknologis dalam sebuah medium sehingga terciptalah imej kultur global. Lewat artifak teknologi, seperti televisi, kamera foto, cinema dan juga tentunya komputer, imej diproduksi dan direproduksi (1990: 166).

Lewat logika plurikultural, persepsi tentang ruang meluas. Dan ini tentunya tidak hanya dalam ranah mikropersepsi, tapi juga makropersepsi. Imej tentang keberagaman budaya lewat artifak teknologi membentuk makropersepsi manusia tentang dunia yang dihidupinya. Tersingkapnya bagian-bagian dunia (natur dan juga kultur) yang sebelumnya tak pernah kita lihat dan pahami, memberikan pemahaman bahwa persepsi manusia tentang dunianya terus berkembang. Berkenaan dengan hal ini Don Ihde memberi contoh majalah National Geographic yang telah banyak membentuk persepsi tentang dunia-kehidupan.

Plurikulturalitas membentuk secara perseptual sebuah dunia dengan beragam bentuk budaya yang dipahami secara teknologis. Di sini pengalaman tereduksi sebatas imej saja. Kebudayaan direpresentasikan oleh artifak teknologi, plurikulturalitas kemudian menjadi sebuah gestalt yang menjelaskan bahwa kita hidup dalam dunia yang terfragmentasi secara teknologis.●

 

Daftar Bacaan  

Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays, diterjemahkan oleh W. Lovitt, Harper and Row, New York

Ihde, Don, (1979). Technic and Praxis, D Riedel Publishing Company, Holland/Boston: USA

———–,  (1990). Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth, Indiana University Press, Bloomington/Indianapolis

————, (1991). Instrumental Realism: The Interface beetween Philosophy of Science and Philosophy of Technology, Indiana University Press, Bloomington/Indianapolis

————, (2003). Postphenomenology—Again?, Working paper from centre of STS studies no. 3, University of Aarhus

Selinger, Evan, (2008), Introduction to Postphenomenology Discussion, Techné: Research in Philosophy and Technology, Special Issue, Postphenomenology: Historical and Contemporary, Volume 12 Number 2 Spring 2008 Techne.

 

 

 

In the context of a hermeneutics of science, I have been arguing that this expansion of hermeneutics is one which extends to the ‘thingly’, including the things of science and not merely to its history, its cultural context, or its sociology (all of which terms retain the modernist distinctions between social and natural sciences). Implicitly I am also suggesting that if there is to be a hermeneutics of (natural) science, it must be a hermeneutics which reverberates with the actual state of those sciences and not to what they have been at some earlier time. (Don Ihde/Expanding Hermeneutics).

Perlunya Hermeneutika dalam Kajian Keagamaan

Oleh: Budi Hartanto

Sejarah penafisiran al-Qur’an dan kajian etis keagamaan (fiqh) telah membentuk worldview tentang Islam sebagai agama yang kemudian menimbun keutuhan nilai-nilai kewahyuan al-Qur’an. Demikian gagasan yang diungkap oleh pemikir Islamologi Mohamed Arkoun berkenaan dengan kritik nalar Islam. Menurutnya diskursus keagamaan yang telah mentradisi, seperti fiqh dan penafsiran al-Qur’an oleh para agamawan, telah menjadikan ’yang terpikirkan’ dalam al-Qur’an menjadi ’tak terpikirkan’.

Demikianlah bahwa umat Islam lebih banyak menerima ajaran keagamaan secara tak langsung. Umat mempersepsikan Islam sebagai agama lewat para ulama. Fenomena ini tentulah bukan tanpa alasan. Al-Qur’an dan Sunnah mempunyai logikanya tersendiri yang memang memerlukan proses translasi dan transformasi dari para ulama.

Kitab al-Qur’an sebagai misal adalah kitab suci yang mempunyai khazanah sangat luas. Karena itu ‘Ulumul Quran termasuk juga ilmu tafsir dan hadis menjadi sebuah diskursus yang sangat berkembang dalam tradisi keilmuan Islam.

Namun bila kita lihat fenomena Islam sebagai agama dalam konstelasi sosial dan politik dunia jelaslah tergambar bahwa ia belum dipahami secara utuh. Seperti contoh masih sering kita saksikan fenomena fundamentalisme yang berujung pada tindakan terorisme dan juga problem-problem kemanusiaan dalam negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Tentu hal ini memberikan sebuah pemahaman bahwa esensi Islam sebagai agama rahmat belum benar-benar dipahami.

Pertanyaan kemudian dapat diajukan apakah cukup hanya memahami ilmu tafsir atau penafsiran agamawan terhadap al-Qur’an dan hadis yang telah mentradisi dalam sejarah keilmuan Islam untuk mendapatkan esensi nilai-nilai keagamaan? Mungkinkah digunakan metode selain tersebut di atas dalam konteks penafsiran agama?

Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebenarnya diperlukan tafsir keagamaan yang berasal tradisi ilmu-ilmu empiris seperti hermeneutika. Hermeneutika dalam sejarah perkembangannya muncul dalam konstelasi filsafat barat, sampai kemudian established sebagai disiplin ilmu dalam aras ilmu-ilmu sosial. Ilmu ini memang mempunyai tradisinya tersendiri dan terkait dengan pemikiran-pemikiran besar, seperti misalnya Sigmund Freud dan Karl Marx. Beberapa filsuf kenamaan seperti misal Heidegger, Gadamer, Michel Foucoult, dan Paul Ricour secara khusus membahas problem hermeneutika (penafsiran teks) dalam pemikiran filsafatnya. Tentulah ini menjelaskan bahwa memang tak mudah untuk memahami keutuhan dan kebenaran makna sebuah teks.

Apakah relevan ilmu hermeneutika digunakan untuk menggapai kebenaran makna atau esensi agama yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis? Relevansi hermeneutika dalam kajian Islam menjadi isu atau polemik yang cukup menarik perhatian. Para pemikir seperti Moh. Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Abu Zayd  dan para pemikir Islam di Indonesia menaruh perhatiannya pada relevansi hermeneutika terhadap kajian keislaman, terutama berkenaan dengan pemahaman al-Qur’an.

Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi misalnya menulis buku yang berjudul Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an (2007). Buku ini menjelaskan ketisaksetujuan penulis bila hermeneutika diterapkan dalam proses penafsiran al-Qur’an. Kritik juga ditujukan dalam pengantar buku ini pada kebijakan dalam pendidikan tinggi Islam jurusan tafsir dan hadis di Indonesia yang mewajibkan mata kuliah hermeneutika.

Dari buku tersebut saya mendapat pemahaman bahwa sebenarnya kita tak bisa melepas nilai-nilai keimanan dan keislaman (religiusitas) dalam menafsir al-Qur’an. Inilah yang membedakan tradisi tafsir al-Qur’an dengan hermeneutika yang bersifat objektif dan ilmiah. Dalam hermeneutika, untuk mendapatkan kebenaran makna sebuah teks mesti disikapi secara profan, nila1i-nilai kesakralan/religius tak bisa dilibatkan dalam proses penafsiran.

Terlepas dari permasalahan etis-teologis, tentulah tujuan al-Qur’an diturunkan ke bumi agar ia dapat dimengerti dan dipahami oleh umat manusia. Sebuah tantangan saya pikir mengapa hermeneutika penting dalam kajian keagamaan. Karena ini menyangkut pemahaman tentang Islam itu sendiri dan kebenaran makna teks al-Quran dan al-Hadis.

Analisa menarik tentang teks al-Qur’an dikemukakan oleh Murtaza Mutahheri seorang filsuf Iran dalam bukunya Man and Universe (2003). Menurutnya al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan kitab-kitab atau tulisan-tulisan manusia lainnya, seperti buku filsafat, sains, sastra, dan sejarah. Menurut pembacaan Murtaza Mutahheri gaya tulisan al-Qur’an tidaklah sama seperti puisi dan prosa, ”The Holy Al-Qur’an has no poetic imagery nor fanciful similes and metahphors.” (2003: 169). Demikian kata Mutahheri. Al-Qur’an adalah kitab wahyu, sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah sebagai panduan hidup umat manusia dan rahmat semesta alam.

Berdasarkan asumsi tersebut di atas sebenarnya dapat pahami bahwa ada dua perspektif dalam melihat al-Qur’an. Pertama ia adalah sesuatu yang Illahi dan sakral, yang kedua adalah ketika ia dipahami bernilai profan sebagai panduan hidup umat manusia. Bila dilihat sebagai kitab yang sakral tentulah ilmu-ilmu manusia seperti hermeneutika tidak dapat digunakan untuk menafsirkan teks al-Qur’an. Hanya tradisi keagamaan yang terkait dengan nilai-nilai keimanan yang punya ’otoritas-etis’ menafsirkan al-Qur’an.

Namun bila kita lihat al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang dibahasakan dengan bahasa manusia tentulah tak ada salahnya menggunakan hermeneutika sebagai sebuah sains untuk memahami kebenaran makna al-Qur’an. Ada beberapa poin yang dapat dijadikan argumentasi berkenaan dengan kontroversi penggunaan hermeneutika dalam kajian keagamaan.

Pertama, hermeneutika adalah ilmu yang bebas nilai, tak ada kepentingan lainnya selain kebenaran makna teks itu sendiri. Walaupun ia berkembang dari tradisi filsafat barat yang dekat dengan tradisi keilmuan Kristen, namun dalam perkembangan ia adalah telah menjadi bagian dari ilmu-ilmu empiris. Kedua, teori-teori besar yang berpengaruh dalam perkembangan peradaban yang digunakan sebagai moda pemecahan hermeneutis dalam filsafat manusia; seperti misal teori psikoanalisa Sigmund Freud dan kritik masyarakat Karl Marx secara tak langsung telah membongkar misteri kesadaran manusia modern. Ketiga, kemungkinan terungkapnya kejelasan makna akan mengembalikan esensi kewahyuan Al-Qur’an sebagai rahmat bagi semesta alam. Dengan melihat al-Qur’an secara profan pesan kosmis tentu akan lebih mudah dipahami sebagai panduan kehidupan sosial dan juga tentunya spiritual.

Hermeneutika saya kira adalah sebuah tantangan tersendiri bagi perkembangan kajian keagamaan. Di sini penulis tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa hermeneutika lebih menawarkan kebenaran. Penulis hanya ingin menyatakan bahwa membumikan al-Qur’an adalah sangat penting dalam peradaban teknologi yang sekarang kita hidupi. Saya pikir kitab al-Qur’an tidak bisa terus menerus disakralkan. Waallahu a’lam.●

Mendedah Epistemologi Islam: Sebuah Tanggapan

Budi Hartanto (Pemerhati filsafat sains dan teknologi)

Epistemologi dalam aras ilmu filsafat dimengerti sebagai teori tentang bagaimana pengetahuan manusia dapat diraih. Ilmu menjadi kata kunci untuk memahami apa itu epistemologi. Demikianlah ia dipahami sebagai cabang dari filsafat yang menggejala sampai masa-masa kontemporer.

Istilah menarik berkenaan dengan bagaimana manusia mengetahui Allah, alam dan dirinya diungkapkan oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pendidikan Islam dari Malaysia, dalam seminar bertajuk ”Budaya Ilmu dan Tantangan Epistemologi Islam” di aula masjid DDII Jakarta (14/11/2009). Epistemologi Islam demikian istilah yang diungkapkan oleh Prof. Wan.

Epistemologi Islam dapat dipahami sebagai moda pengetahuan yang berpijak pada wahyu yang melampui akal dan pancaindera. Sebuah sistem pengetahuan yang menurutnya juga tak lepas dari tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para sahabat dan ulama. Menurut Prof. Wan ada keterputusan epistemologis (saluran ilmu) dengan para sahabat, ulama, dan para wali terdahulu. Artinya sebuah upaya menggali epistemologi Islam dalam konteks ini sangat relevan berkaitan dengan kondisi dunia Islam sekarang.

Ilmu menurut Prof. Wan pada dasarnya bersifat eksternal dan mutlak diajarkan oleh Allah kepada manusia. Artinya ilmu tidak diciptakan oleh pikiran. Dengan argumentasi bahwa banyak ayat al-Qur’an memang menjelaskan hal ini. Misalnya ilmu yang diberikan Allah kepada para nabi, seperti ketika Allah mengajarkan nama-nama benda kepada nabi Adam, yang kemudian membuat iblis dan malaikat harus tunduk kepada manusia. Di sini ilmu diinterpretasikan sebagai mutlak dan eksternal yang lepas dari kualitas kemanusiaan yang pada awalnya diberikan oleh Allah kepada hambanya.

Sungguh menarik bahwa rumusan tentang epistemologi Islam dikembangkan pada masa ketika epistemologi dalam konstelasi filsafat mulai ditinggalkan. Richard Rorty adalah seorang filsuf dengan tradisi pragmatisme yang mengungkapkan berakhirnya epistemologi dalam diskursus filsafat barat modern. Fenomena posmodernisme menurutnya telah menempatkan hermeneutika yang bersifat lentur dan terbuka sebagai keutamaan dibandingkan dengan epistemologi. Pendapat lain mengenai relevansi epistemologi juga diungkapkan oleh Don Ihde, seorang filsuf teknologi. Ia membuat terma ”mesin epistemologi” (epistemology engines) yaitu tentang bagaimana realitas pengetahuan dihasilkan oleh artifak teknologis (Bodies in Technology, 2002).

Ada beberapa hal menurut saya yang perlu dipertanyakan berkenaan dengan epistemologi Islam. Misalnya apakah epistemologi Islam berkaitan dengan islamisasi ilmu yang kemudian membentuk sebuah paradigma baru tentang ilmu pengetahuan? Seperti pernah dikatakan oleh Prof. Ahmad Baiquni seorang fisikawan muslim dalam surat pembacanya dalam jurnal pemikiran Islam ’Ulumul Quran. Menurutnya apakah Islamisasi terkait dengan dekonstruksi sistem pengetahuan, seperti kemungkinan mengubah besaran dalam fisika?

Sejauh yang saya tangkap tidaklah demikian. Mendengar apa yang disampaikan dalam ceramah tersebut saya melihat ada kecenderungan fondasionalisme dalam rumusan epistemologi Islam. Sebuah pemikiran yang juga pernah dikemukakan oleh Seyyed Hosein Nasr dalam bukunya The Need of Sacred Science (1993).

Saya kira sudah jelas bahwa esensi wahyu adalah sebagai petunjuk dan penerang kehidupan agar manusia menjadi lebih baik. Agama meliputi banyak hal berkaitan dengan kehidupan praktis manusia, persoalan mua’malah (sosial kemasyarakatan) sebagai misal lebih banyak muncul dalam al-Quran, inilah saya pikir yang menjadi pokok-pokok pengetahuan yang ingin disampaikan oleh al-Quran. Membentuk secara fondasional sistem epistemologi yang berpijak pada wahyu dan tradisi saya kira hanya akan membawa pada semacam dogmatisme.

Ketika penyampaian wahyu berakhir hanya sampai Nabi Muhammad maka pengandaiannya pengetahuan yang berdasarkan wahyu akan terputus dan menjadi statis. Allah mengajarkan ilmu hanya kepada para nabi yang kemudian berakhir pada nabi Muhammad. Maka penafsiran saya bahwa epistemologi Islam bersifat terbatas. Bukankah ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

Selain itu al-Qur’an juga menjelaskan banyak hal tentang fenomena kosmis yang kemudian menjadi sebuah worldview, jadi sebenarnya tidak hanya pengetahuan yang bersifat partikular (epistemologi), tapi sesuatu yang universal (kosmologi) yang dipahami secara empiris oleh semua manusia. Bagaimana bumi dihidupkan dengan hujan, perkisaran angin, peredaran matahari, bulan dan keberadaan bintang Syira adalah beberapa contoh keteraturan kosmis yang disebutkan oleh al-Quran.

Peradaban ilmu yang identik dengan sains dan teknologi yang pada zamannya menggejala dalam dunia Islam menurut saya tidak bisa dijadikan argumentasi bahwa Islam mempra-kondisikan budaya ilmu. Filsafat, sains dan teknologi adalah warisan pemikiran Yunani kuno yang kemudian berkembang dalam dunia Islam.

Karena itu perlu juga diketahui bahwa menyebarnya Islam sebagai agama tidak lantas menyebarnya budaya lmu. Menyebarnya Islam di Nusantara misalnya tidak diiringi dengan menyebarnya tradisi keilmuan yang berkembang di pusat peradaban Islam. Sains dan teknologi tidaklah menjadi tren di kepulauan Nusantara seperti halnya di pusat peradaban Islam. Kita ketahui bahwa tradisi sastra (humanioria) yang malah berkembang. Hampir tidak kita temui saintis muslim di Nusantara, tapi kita temui ulama, wali, dan sastrawan-sastrawan terkemuka. Orang-orang yang tak dapat dipungkiri berjasa dalam mengkonstruksikan kebudayaan (keberadaban) dan membebaskan Nusantara dari kejumudan.

Komprehensi Islam memungkinkan terbentuknya berbagai kebaikan, dan ini tentu tidak bisa kita reduksi terbatas pada ranah pengetahuan (epistemologi) yang kemudian diasumsikan bermuara pada sains dan teknologi. Perlu ditekankan bahwa Islam membentuk sebuah mentalitas yang mestimulasi munculnya nilai-nilai kosmopolitanisme, yang kemudian mensyaratkan tidak hanya karamahtamahan universal sebagaimana dirumuskan oleh Immanuel Kant, tapi juga terciptanya sebuah ’kemaslahatan’.

Kendati demikian apresiasi terhadap gagasan epistemologi Islam perlulah kita kemukakan. Sebenarnya ada yang lebih utama menurut saya berkenaan dengan respon terhadap kegalauan peradaban yang kita hidupi saat ini. Yaitu bahwa kita membutuhkan sebuah sistematika kritik terhadap perkembangan sains dan teknologi. Kritik sains dan teknologi seperti kita ketahui tidak begitu populer dalam kancah pemikiran (Islam) di Indonesia, bahkan boleh dibilang hampir tak ada. Padahal kita ketahui perkembangan sains dan teknologi dalam beberapa hal juga telah membawa mudharat—ketidakseimbangan dan kerusakan alam. Banyak ayat dalam al-Qur’an mengingatkan kita agar tidak berbuat kerusakan di bumi. Saya pikir adalah menarik mengembangkan kritik sains dan teknologi dengan bertolak dari prinsip-prinsip keagamaan.