Sains, Agama, dan Kebenaran Perenial

Oleh: Budi Hartanto

Filsafat perenial sebagai suatu moda berpikir holistik dan abadi muncul dari para pemikir yang memfokuskan kajiannya pada agama dan tradisi. Dibedakan dengan sains modern yang secara hakiki hanya berpijak pada acuan empiris, perenialisme melihat bahwa kebenaran juga bisa diraih dengan melihat kembali pada tradisi dan wahyu dalam kitab suci.

Pemikiran tentang perenialisme pada awalnya dikemukakan oleh Aldous Huxley, seorang novelis dan penyair dalam bukunya Perennial Philosophy (1946). Namun dalam perkembangannya ia menjadi sebuah konsep sentral dalam mahzab-mahzab tradisionalis. Seyyed Hosein Nasr adalah contoh pemikir yang mengembangkan gagasan ini.

Seyyed Hossein Nasr mempunyai pemikiran perenial yaitu tentang Sacred Science atau sains yang mempunyai pijakan pada metafisika dan wahyu kitab suci. Pengetahuan menurut interpretasi Seyyed Hossein Nasr mempunyai fondasi pada kehidupan atau tatanan sosial yang terbentuk lewat wahyu dalam agama. Dalam An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1978) ia menjelaskan bagaimana sebuah kosmologi sebagai pengetahuan terbentuk dengan berpijak pada ajaran agama. Sistem pemikiran filsafat Ikhwan al Safa’, Ibnu Sina, dan Al-Biruni yang ditelaah oleh Nasr sebagai sebuah kosmologi, sebagai contoh, mempunyai fondasi dan berpusat pada Tuhan atau teks-teks kitab suci. Konsep alam, yang dibedakan menjadi alam terestrial (sublunar region) dan extraterestrial menjadi sentral dalam pemahaman kosmologi Islam yang dikembangkan oleh para filsuf tersebut.

Proposisi bahwa kebenaran filosofis dapat ditemukan dalam sebuah tradisi dan scripture (teks-teks suci dalam setiap agama) merupakan inti dari filsafat perenial. Tentu saja ini berbeda dengan filsafat barat yang sejak Descartes menafikan agama (kitab suci) sebagai sumber kebenaran. Seyyed Hossein Nasr dalam sebuah wawancara di Journal of Philosophy & Scripture (Fall 2004) menyebutkan para pemikir perenialisme dari tradisi Judeo-Christian dan Islam, seperti Ibnu Sina dan Mulla Sadra yang menulis komentar terhadap al-Quran, santo Thomas Aquinas dan para pemikir Yahudi lainnya yang membuat komentar pada kitab suci.

Dalam sejarah filsafat ilmu kita pahami bahwa kebenaran mengacu pada pengalaman (empiris) yang dalam sains modern ditentukan sampai tingkat subatomik. Instrumen dalam konteks ini berperan menentukan validitas sebuah kebenaran. Dari sini kemudian sebuah teori tercipta, yaitu sebagai asumsi-asumsi yang membentuk sistem dan konstruksi ilmiah tentang alam semesta.

Realitas sebagai sebuah kebenaran dibangun secara teoritis, dalam kritik sains kita ketahui bagaimana sebuah teori pada awalnya menjadi sebuah paradigma (kebenaran realitas) dapat tergantikan dengan sebuah paradigma baru. Beralihnya teori geosentris ke heliosentris, dan teori gravitasi ke relativitas telah memberi pemahaman bagaimana dunia universal lama tergantikan oleh dunia universal yang baru. Sebuah proses yang dalam pemikiran Thomas Kuhn dikenal sebagai revolusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan.

Ini tentu saja berbeda dengan perenialisme yang tak mengenal revolusi dalam pengetahuan. Kebenaran bersifat abadi dan universal, sejak alam semesta tercipta. Semua agama mempunyai ciri kebenaran perenial, pengandaian Seyyed Hossein Nasr tentang hal ini adalah bahwa setiap tradisi dan ajaran keagamaan masing-masing memiliki pemahaman tentang realitas yang melampaui dunia material yang kita pahami.

Pemikiran Charles Darwin tentang evolusi kehidupan menjadi kontroversi karena ia menjelaskan sebuah pengetahuan yang bertentangan dengan perenialisme. Teori evolusi telah memberikan sebuah fakta ilmiah bahwa manusia dan simpanse mempunyai nenek moyang yang sama. Penelitian sains modern dapat menjelaskan bahwa manusia dan simpanse mempunyai kesamaan gen kurang lebih 99 persen.

Teori ini telah membentuk sebuah persepsi sosial bahwa nenek moyang kita Nabi Adam tidak turun dari surga atau langit (identifikasi surga sebagai heaven), melainkan berasal dari bumi. Dalam kitab al-Qur’an, Adam dan Hawa diturunkan oleh Allah dari surga ke bumi. Namun kata turun dalam konteks turunnya Adam dan Hawa dari surga tidak sama seperti penggunaan kata turun/nazala dalam konteks turunnya al-Quran dari langit, kata turun dari surga secara bahasa bisa diartikan turun dari tempat yang tinggi.

Apakah ini berarti surga tempat Nabi Adam berada di bumi? Interpretasi lain bahwa surga tidak berada di bumi adalah keberadaaan Baitul Makmur (QS, 52:4) yang diinterpretasikan oleh para mufasir sebagai tempat (rumah) di langit ke tujuh tempat para malaikat bertasbih. Tampaknya inilah yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan bahwa surga ada di langit.

Menyandingkan sains dan agama memang tidaklah semudah yang kita bayangkan. Karena ini menyangkut cara pandang tentang dunia atau sebuah kosmologi. Banyak pemikir mencoba menyandingkan sains dan agama. Namun seperti kita ketahui sains dan agama tak pernah sejalan, bahkan terkadang terjadi konflik. Memang ada pendapat yang menjelaskan bahwa kesimpulan ontologis dari sains mendukung keberadaan Tuhan atau kepercayaan agama. Sehingga muncul teori-teori yang mendukung kebenaran agama.

Munculnya teori intellegent design (kreasionisme) sebagai tanggapan terhadap teori evolusi misalnya juga dikaitkan dengan kontestasi kebenaran antara sains dan agama. Intelegent design mengungkapkan bahwa syarat kehidupan adalah adanya perancang cerdas. Sebuah teori yang memberikan argumen-argumen ilmiah tentang keberadaan sang Pencipta.

Selain itu ada juga young Earth creationism, teori ini menjelaskan bahwa bumi berumur tidak lebih dari 10.000 tahun, mengikuti kronologi biblikal, berbeda dengan penelitian sains modern yang menyatakan bahwa bumi berumur 14 milyar tahun. Paham young Earth creationism kadang dikaitkan dengan fundamentalisme karena interpretasi literalnya, paham ini menolak teori evolusi dengan argumen bahwa konsekuensi proses penciptaan secara evolutif mempunyai periode waktu yang jauh lebih lama dari tafsir waktu penciptaan dalam kitab suci (Niall Shanks, 2006).

Terlepas dari permasalahan yang sifatnya epistemologis, ilmu pengetahuan memang semestinya mengacu pada nilai-nilai etis sebagai tujuan utamanya. Para ilmuwan, pemikir, dan filsuf tentulah bertangungjawab atas setiap ilmu yang diproduksinya. Dapat dikatakan bahwa setiap teori mempunyai pengaruh terhadap pikiran masyarakat. Dan karenanya bukan hanya pertanggungjawaban rasional saja yang dibutuhkan, tetapi juga pertanggungjawaban yang sifatnya moral.

Mungkin benar pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pengetahuan yang otentik itu melampaui dunia pengalaman, ia adalah sesuatu yang sakral. Dalam konteks inilah kita tetap memerlukan traditional wisdom yang di dalamnya sumber etika dan metafisika sebagai sesuatu yang melampaui sains modern dapat menjadi rujukan. Ini saya pikir yang berpengaruh secara moral pada kehidupan sehari-hari dan relasi kita dengan alam sekitar.●