Menimbang Pendidikan Poshumanistik

Oleh: Budi Hartanto

Pendidikan bermula dari lingkup politis paling sederhana seperti keluarga. Dengan pendidikan yang bersifat kultural seperti keluarga nilai-nilai kebaikan atau etika-moral dalam batas-batas agama dan kebudayaan tertanam dalam diri manusia. Keluarga memang dipahami sebagai struktur mendasar dari terlaksananya sebuah pendidikan.

Plato, filsuf Yunani klasik, mengatakan bahwa syarat-syarat seseorang mempelajari filsafat pada mulanya adalah memahami geometri. Namun sebagaimana sering dirujuk, sebenarnya dalam pemikiran Plato keikhlasan dan kebaikan yang menjadi syarat utama seseorang untuk memahami pengetahuan filsafat (Majid Fahkry, 2002). Demikianlah bahwa pada dasarnya pendidikan identik dengan etika-moral, sejak awal ia menjadi tolak ukur pencapaian sebuah pengetahuan.

Sebelum masa renaissance di Eropa, pengetahuan (sains) dan etika-moral adalah sebuah kesatuan. Pendidikan sains tak terpisah dengan pendidikan keagamaan. Namun dalam perkembangannya seperti kita ketahui terjadi pemisahan. Sains atau ilmu pengetahuan menjadi independen dan tak lagi dikaitkan dengan etika-moral keagamaan.

Munculnya sains modern yang lepas dari ilmu keagamaan seperti tercatat dalam sejarah berawal dari gerakan intelektual humanisme: yakni dari masa renaisance (abad 14 M), revolusi ilmu pengetahuan (Copernicus/Galileo), dan kemudian mencapai puncaknya pada masa pencerahan (Immanuel Kant) pada abad 18 M.

Model pendidikan saat ini seperti kita ketahui berpijak pada paradigma humanistik yang mulai menggejala sejak zaman renaisance ini, sebuah periode sejarah dimana para pemikir kembali menggali khasanah kebudayaan Yunani kuno. Gerakan intelektual yang biasa disebut humanisme ini mempunyai tujuan mewujudkan individu-individu rasional dan bermoral, dan juga menekankan agar manusia berani untuk berpikir sendiri (sapere aude).

Pertanyaan kemudian muncul berkenaan dengan humanisme sebagai fondasi dari pendidikan. Apakah ia masih relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan juga dalam konteks negara Indonesia yang masyarakatnya sebagian besar masih memegang tradisi dan religi? Saya pikir humanisme tidaklah tertutup terhadap kritik atau komentar.

Pendidikan dengan paradigma humanisme bila kita cermati masih menempatkan cakrawala pengetahuan terbatas atau berfokus pada nilai-nilai ideal teoritis. Jenjang tertinggi dalam pendidikan misalnya hanya mensyaratkan pengetahuan tentang filsafat saja. Semua bidang studi sampai titik tertentu mesti mengetahui dimensi filosofis dari ilmu yang dipelajari. Penekanan dimensi praktis dan teknologis pengetahuan belum mendapatkan tempat utama dalam pendidikan.

Di Indonesia, pentingnya pendidikan berbasis riset (praktis-teknologis) baru-baru ini saja digaungkan. Universitas Indonesia (UI) misalnya telah menjadikan riset sebagai platform dari pendidikan yang diselenggarakannya. Saya kira ini langkah yang baik yang perlu diikuti oleh universitas lainnya. Pendidikan berbasis riset tentulah penting dalam peradaban teknologi yang kita hidupi sekarang.

Keutamaan nilai praktis-teknologis pengetahuan sebagai bagian integral sebuah peradaban pernah dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqadimmah (1377). Aktualitas atau penerapan pengetahuan dalam bentuk the craft (keahlian/keterampilan) menurut Ibnu Khaldun adalah syarat berkembangnya sebuah peradaban. Berkenaan dengan aktualitas atau direct practice dari ilmu pengetahuan ini ia juga mengatakan bahwa keahlian (skill) yang bersifat teknis dan praktis itu memerlukan guru. The craft required teacher demikian kata Ibnu Khaldun. Artinya keahlian tidaklah terbentuk begitu saja, proses transfer sains dan teknologi menjadi syarat dinamika peradaban. Skill/keahlian (the craft) tak akan berkembang tanpa adanya proses transfer teknologi dan pendidikan skill itu sendiri.

Kritik terhadap humanisme dalam pendidikan juga mengemuka dalam hal universalitas sains dan teknologi. Humanisme dalam arti tertentu masih menekankan nilai-nilai universal sains dan teknologi. Kecenderungan ini misalnya dapat kita lihat dalam pendidikan sains yang ada yang selalu merujuk pada sains Barat.

Saya pikir nilai-nilai yang bersifat partikular (partikularitas) dalam sains dan teknologi mesti diberdayakan. Terutama tentu saja ketika ia digunakan dan dipahami sebagai bagian dari kebudayaan. Pemikiran tentang nilai relatif dan partikular dari sains dan teknologi misalnya diungkapkan oleh Don Ihde (1990) seorang filsuf teknologi. Ia mengatakan bahwa teknologi bersifat multistabil, dengan kata lain setiap kebudayaan mempunyai ciri khasnya masing-masing dalam memahami dan menggunakan teknologi.

Multistabilitas dalam melihat sains dan teknologi akan membawa kita pada sebuah dunia pluralistik, yang tentunya sesuai dengan fitrahnya. Universalisme dalam sains dan teknologi saya kira hanya akan mencipta dunia yang tak seimbang secara teknologis atau dalam istilah Karl Marx: cripple monstrousity. Kemajuan teknologi komputer dan permesinan sebagai misal sekarang telah mengambil kerja-kerja manusia dan dalam arti tertentu telah mencipta dunia seperti yang disinyalir oleh Karl Marx. Konsekuensinya pendidikan komputer (manajemen informasi, desain, pemograman, dll.) banyak bermunculan, sedangkan pendidikan sains dan teknologi lainnya yang lebih mendasar, seperti fisika, biologi, kimia dan juga metalurgi hampir tidak kita temui selain di universitas-universitas besar, tidak populer dan jumlah peminatnya relatif sedikit. Pengetahuan komputer yang mempunyai esensi pada perhitungan atau kalkulasi memang semestinya dimbangi dengan pengetahuan lainnya.

Kita ketahui bahwa teknologi telah mencipta dunia yang telah melampaui kodrat kemanusiaan. Akibatnya banyak persoalan moral yang muncul yang tidak hanya melibatkan manusia tapi juga artifak teknologi. Dalam konteks inilah saya pikir diperlukan pendidikan poshumanistik, yakni sebuah pendidikan praktis-teknologis dan berorientasi etis dalam memandang kemajuan, perkembangan atau pembangunan. Jadi selain mengutamakan problem-solving, diperlukan etika teknologi yang berpijak pada kebaikan yang lebih luas dan tentu saja yang ramah lingkungan tanpa melupakan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang bersumber dari agama dan kebudayaan di Indonesia.

Demikianlah dalam tulisan ini penulis ingin mencoba menyampaikan bahwa sebenarnya humanisme yang bersumber dari tradisi pengetahuan Yunani kuno tidak bisa dijadikan satu-satunya rujukan berkenaan dengan fondasi ilmu pengetahuan (sains) dan nilai-nilai etika-moral. Terutama tentu saja ketika perkembangan teknologi baru telah mencipta dunia yang melampui kodrat kemanusiaan dan juga dalam konteks penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.●