This article explicate existensial precisions and the bodily perceived world in Merleau-Pontean fenomenology. A prologomena to philosophy of Maurice Merleau-Ponty.


 

Koran Tempo/Ide, Minggu, 18 April 2004

“Aku Mencerap maka Aku Ada”

 


Budi Hartanto (Pembaca Filsafat)


Bila kita telusuri dalam rentang sejarah filsafat, keutamaan pengalaman perseptual sebagai modalitas pengetahuan dapat kita temui pada aliran empirisme. Para perintis empirisme modern seperti Thomas Hobbes, John Locke, Berkeley dan Hume percaya bahwa pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang kita cerap dan perspesikan. Bahkan Berkeley secara radikal mengatakan bahwa suatu objek ada karena objek tersebut dapat dipersepsikan oleh pikiran, atau realitas yang ada sama saja dengan ide-ide batiniah (esse est percipi)  

Keutamaan persepsi lebih jauh dijelaskan oleh Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), seorang filsuf eksistensialis Prancis, lewat metode fenomenologi. Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang menekankan deskripsi terhadap struktur pengalaman yang menampakkan dirinya ke dalam kesadaran, tanpa ada bantuan teori atau asumsi-asumsi yang mendasarinya. Metode fenomenologi ini kemudian digunakan oleh Maurice Merleau-Ponty sebagai basis pemikirannya, yang selanjutnya dielaborasi ke dalam ranah estetika, etika, teori politik, sejarah dan bahasa. Filsafatnya merupakan pengembangan lebih lanjut fenomenologi Husserl, filsafat eksitensialis Heidegger, Gabriel Marcel dan psikologi Gestalt.

Fenomenologi misalnya, bagi Merleau-Ponty bukan semata-mata kajian tentang bagaimana objek menampakkan diri ke dalam struktur kesadaran, tapi lebih tentang bagaimana objek itu secara perseptual berkembang seiring dengan berkembangnya pengalaman. Dalam hal ini ia merumuskan tentang bagaimana analisis-analisis kompleks dari sumber dan status dunia perseptual itu dapat dihasilkan.

Pengalaman perseptual yang berkembang adalah dasar dari semua pengetahuan. Ini dapat kita mengerti lewat pernyataannya yang terkenal: “Dunia yang kita cerap selalu mensyaratkan dasar dari semua rasionalitas, nilai, dan eksistensi. Tesis ini tidak menghancurkan rasionalitas atau yang absolut. Melainkan hanya mencoba untuk membawanya turun ke bumi” (1974: 197).

Pernyataan tersebut membentuk asumsi bahwa apa yang kita sebut sebagai pengetahuan, sains ataupun kepercayaan mempunyai basis pada dunia yang kita cerap. Berawal dari proses pencerapan terhadap realitas empiris ini maka terbentuk apa yang disebut persepsi. Nah, dari sinilah dapat kita ketahui bahwa sesuatu yang logis selalu mempunyai dasar pada dunia perseptual.

Menurut Merleau-Ponty, semua bentuk kesadaran bersifat perseptual. Keutamaan persepsi terkait erat dengan pengalaman sebagai modus dasar cara kita berada di dunia. Persepsi di sini terbentuk dan berkembang lewat realitas empiris yang kita cerap. Inilah asumsi dasar cara pandang kita terhadap dunia.

Pemikiran Merleau-Ponty tentang fenomena persepsi dapat dijelaskan lewat proses penginderaan, yaitu bagaimana kita dapat menjelaskan fenomena yang kita cerap. Sebagai contoh bila kita melihat suatu objek, rumah misalnya, tentu kita tidak melihat rumah secara keseluruhan, ada bagian atau sisi rumah yang tak dapat kita lihat (kita tidak dapat melihat tampakan dari samping atau dari belakang). Oleh sebab itu timbul pertanyaan yaitu bagaiamana kita menjelaskan bagian rumah yang hadir dalam kesadaran kita, namun tak dapat kita lihat secara inderawi? Apakah bagian rumah yang tak terlihat yang hadir dalam kesadaran kita merupakan representasi imajiner saja. Tentu tidak demikian bila kita mencoba membuktikannya dengan mengelilingi rumah tersebut. Kita akan berasumsi itu hanyalah bagian rumah yang tersembunyi (tak terlihat), bukannya representasi imajiner. Sehingga bagian rumah yang tersembunyi lewat persepsi dapat kita antisipasi, misalnya persepsi kita tentang rumah secara keseluruhan dapat kita ketahui lewat pengalaman kita mengelingi rumah tersebut.

Contoh lain botol, botol sudah kita kenal secara geometris berbentuk seperti tabung. Sehingga dapatlah kita jelaskan, walau kita tidak melihat secara keseluruhan sisi botol, botol sebagai tabung lewat persepsi. Dari sini dapat kita ketahui bahwa persepsi, menurut Merleau-Ponty, berkembang seiring dengan berkembangnya pengalaman. Misalnya persepsi kita tentang botol kita ketahui secara geometris lewat pengalaman bahwa botol itu seperti tabung, atau persepsi kita tentang sisi rumah yang tak terlihat, dapat kita konstruksikan secara perseptual setelah kita mengelilinginya.

Namun demikian bukan berarti persepsi itu selalu benar. Persepsi tidak memberikan kebenaran seperti geometri, tapi ia lebih menghadirkan (1974: 198). Pengertian kita terhadap bagian sebuah objek yang tak dapat kita cerap itulah yang merupakan basis dari persepsi. Dan ini memberi pengertian bahwa tidak ada asumsi persepsi secara general, maksudnya adalah tidak ada pengertian persepsi yang bersifat abstrak universal. Yang ada hanyalah persepsi sebagaimana yang kita alami dalam kehidupan, yang berkembang lewat pengalaman.

Merleau-Ponty menekankan keutamaan pengalaman hidup, yaitu dengan mengatakan bahwa “pikiran yang mencerap adalah pikiran yang menjelma”. Maksudnya adalah bahwa penjelmaan pikiran mempunyai modus dasar pada pikiran yang mencerap yang diejawantahkan lewat pengalaman. Seperti contoh botol atau rumah, walaupun ada bagian yang tak nampak secara inderawi, namun lewat pengalaman pikiran yang mencerap, bagian yang tak nampak tetap hadir atau menjelma secara perseptual. Karena persepsi secara alamiah menjelma, maka subjek yang mencerap selalu berubah.

Gagasan ini tentu mengingatkan kita pada Berkeley. Berkeley secara radikal berpendapat bahwa realitas semesta termasuk tubuh kita hanyalah persepsi. Bagi Berkeley, semuanya adalah idea-idea batiniah yang dapat kita mengerti lewat pengalaman. Ini berbeda dengan Merleau-Ponty yang mempunyai pendapat bahwa dunia perseptual secara holisitik mempunyai semacam kesatuan organis, yaitu tubuh. Tubuh yang dijelaskan sebagai jenis kesatuan organis dunia perseptual itu adalah warisan pemikiran Gabriel Marcel: “aku adalah tubuhku”.

Persepsi bagi Merleau-Ponty tidak semata-mata imbas yang didapat oleh tubuh karena adanya realitas dunia eksternal. Walaupun tubuh secara definitif dibedakan dengan realitas dunia ekternal, tapi tubuh tetap secara inheren merupakan bagian yang tak terpisah dari dunia itu sendiri. Selain itu, pemikirannya tentang tubuh dan dunia perseptual mempunyai sentral pada subjek yang mencerap–tubuh adalah bagian dari subjek itu sendiri. Berbeda dengan Descartes yang mengatakan “aku berpikir…” Ponty menjelaskan bahwa adanya dunia perseptual ada karena “aku mencerap…” sehingga kesadaran dapat dimengerti sebagai konstruk perseptual yang dibangun atas dasar investigasi fenomenologis. Kesadaran bukanlah sesuatu yang menggejala di kepala kita, tapi ia lebih secara intens merupakan sekumpulan pengalaman yang terbentuk lewat tubuh kita.

Di sini Merleau-Ponty sudah melampaui dualisme jiwa-badan Descartes. Baginya tubuh merupakan flesh yang terbuat sama dengan flesh dari dunia. Karena tubuh mempunyai flesh yang sama dengan dunia maka tubuh pun dapat mengenal dan mengerti dunia (1968: 248).

Tapi bukan berarti tubuh dapat mengerti secara keseluruhan dunia realitas. Karena tubuh hanya dapat melihat dari perspektif tertentu. Dunia persepsi secara holisitik dalam pemikirannya merupakan kajian fenomena tubuh sebagai struktur eksistensi manusia. Tubuh kita merupakan instrumen untuk berada dalam dunia. Dengan tubuh kita mencerap realitas, dengan tubuh kita berada di dunia bersama objek-objek spasial lainnya.

Lalu soal fenomena kesadaran, Merleau-Ponty melihat kekeliruan cara pandang kaum empiris. Kesadaran bagi kaum empiris dibentuk oleh dunia transenden–dunia di luar pengalaman. Atau lewat sudut pandang Cartesian, ada pola subjek-objek, yaitu subjek sebagai kesadaran itu sendiri dan objek sebagai sesuatu di luar kesadaran. Cara pandang ini tentu membawa kita pada sebuah ketentuan bahwa kebenaran terbentuk lewat kesadaran yang berpikir (rasionalisme) atau persepsi yang kita dapat lewat pengalaman (empirisme). Di sini, kaum empiris akhirnya jatuh pada klaim bahwa persepsi yang kita dapat lewat kesan inderawi atomistik adalah dasar dari yang absolut.

Merleau-Ponty, dengan bertolak dari cara pandang psikologi Gestalt, berargumen bahwa apa yang dikemukakan oleh kaum empiris akan membawa kepada “experience error“. Menurutnya kita tidak mengalami pengalaman kesan inderawi atomistik, tapi lebih pada pengalaman Gestalt yang kita alami dalam pengalaman keseharian–bersifat objektif bagi diri kita sendiri. Kita hanya menemukan atau mengetahui objek dalam konteks permukaan saja. Kita menangkap benda pada dirinya sendiri lewat persepsi, tapi ini bukanlah representasi benda yang kita pikirkan, melainkan hanya sebatas apa yang kita lihat dan kenali (1968: 7).

Cara kita melihat dan mengenali objek realitas untuk itu dibatasi oleh tubuh. Jadi kesadaran adalah bukan semata-mata sesuatu yang kita rasakan dalam otak kita. Tapi lebih, kesadaran secara intensional, merupakan pengalaman yang kita rasakan dalam dan lewat tubuh sebagai organisme hidup. Kontras dengan Descartes yang menyatakan bahwa tubuh adalah mesin yang dijalankan oleh pikiran.

Fenomena kesadaran menurut Merleau-Ponty terkait erat dengan mata dan pikiran. Maka dunia pun diibaratkan seperti lukisan. Itulah yang dapat kita mengerti sepintas dari penjelasannya tentang kesadaran dan relasi antara mata dan pikiran. Kita hanya dapat melihat sesuatu yang secara intensional kita cerap.

Ada keterbatasan cakrawala dalam cara pandang kita tentang realitas. Untuk itu lukisan adalah contoh yang relevan untuk menggambarkan fenomena ini. Akan tetapi mobilitas tubuh memberikan ruang perspektif yang lebih luas. Lebih spesifik, gerakan mata dan tubuh sebagai organisme hidup memungkinkan kita untuk secara bebas menentukan penglihatan dan pengertian tentang realitas dunia.

Jadi gambar yang ada dalam lukisan tidaklah dilihat oleh pikiran, sebagaimana disinyalir oleh Descartes dengan manusia kecil yang bekerja di dalam (kepala) manusia. Merleau-Ponty melihat ada yang kurang pada Descartes, yaitu ia tidak melihat bahwa penglihatan primordial adalah; ia yang melihat tanpa memikirkannya, karena thought of seeing tetap mengandaikan adanya manusia kecil di dalam manusia (1968: 210).

Merleau-Ponty mengambil contoh lukisan-lukisan Paul Cezanne. Cezanne adalah bapak seni modern yang melukis dengan apa ia lihat lewat mata bukan lewat pikiran, lukisan yang bersifat alami bukan komposisi. Ia melukis tidak berdasarkan hukum perspektif natural. Ia misalnya tampak ingin menggapai realitas, namun pada saat yang bersamaan ingin menyangkalnya.

Cezanne, seperti yang Merleau-Ponty katakan, membiarkan dirinya jatuh pada kekacau-balauan inderawi (1964: 13). Apa yang dilukisnya adalah objek yang terdistorsi sebagai ilusi. Banyak lukisannya yang menggambarkan tampakan dari objek-objek yang bergerak, seperti contoh bila kita menggerakkan kepala, kita akan melihat objek itu bergerak, sehingga timbul ilusi yang tidak sesuai dengan perspektif.

Lukisannya yang berjudul Road Before the Mountains, Sainte-Victoire, 1898-1902 (gambar di atas) adalah salah satu contoh lukisan pemandangan gunung yang tampak dinamis. Pepohonan, gunung atau jalan tampak seperti bergerak tak beraturan. Seperti juga tampakan yang kita lihat ketika kita menggerakkan mata atau kepala. Inilah contoh bagaimana tubuh, bukan pikiran, akhirnya mengambil tempat dalam melihat realitas secara perseptual, yang kemudian dimanifestasikan ke dalam lukisan.

Untuk itu tubuh (yang di dalamnya terdapat mata dan juga otak) adalah konstruksi dari kesadaran dan pikiran yang terakumulasi dalam pengalaman perseptual yang berkembang. Tubuh kita berada di antara benda-benda lainnya di dunia ini. Namun yang membedakan adalah kita merasakan tubuh sebagai flesh yang dimiliki oleh subjek.

Lewat proses pengalaman carnal (jasmaniah) kita mengkonstruksikan dunia lewat persepsi. Dunia sebagai bentuk kristalisasi waktu, seperti lukisan dan tingkah laku manusia. Sehingga dapat kita tentukan bahwa beberapa jenis konstruksi kebenaran hanyalah semata deskripsi naif dari persepsi terhadap realitas, seperti simulacra (gambaran palsu yang bersifat sementara). “Ada” yang objektif hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat fenomenal subjektif.

 

Bibliografi

 

Merleau-Ponty, Maurice (1974) Phenomenology, Language and Sociology: Selected

Essays of Merleau-Ponty. Edited by John O’Neill. London: Heinemann.

 

—————————–, (1964) Sense and Non-Sense, translated by Herbert L Dreyfus and Patricia Allen Dreyfus (Evanston: Northwestern University Press).

 

—————————-, (1968) The Visible and the Invisible, Followed by Working Notes, translated by Alphonso Lingis Evanston: Northwestern University Press).