Ketika Agama Mengkritik Saintisme

Oleh: Budi Hartanto

Perdebatan antara saintisme (sekularisme) dan agama telah menimbulkan anggapan yang salah tentang sains. Sains selalu diasumsikan mengancam eksistensi agama. Padahal bila kita perhatikan sains tak pernah menentang agama dan demikian pula sebaliknya saya pikir agama tak pernah menentang sains.

Beberapa peristiwa seperti tercatat dalam sejarah memang telah membentuk sebuah asumsi bahwa agama menghambat perkembangan sains atau pengetahuan lebih luas. Peristiwa dibakarnya buku-buku sang filsuf Ibn Rusyd di depan publik yang berisi ajaran-ajaran filsafat Yunani kuno oleh penguasa Islam pada abad 12 di Andalusia misalnya menjadi contoh bagaimana paham keagamaan diasumsikan menentang kemajuan ilmu pengetahuan filsafat (sains).

Demikian pula peristiwa diasingkannya Galileo Galilei pada abad 17 oleh gereja Katolik Roma karena mempertahankan kebenaran teori heliosentris dengan fakta teknologi optis yang didapatnya. Teori ini mendapat tentangan kalangan agamawan karena tidak sesuai dengan teks dalam bibel, dan juga dipercaya mengancam keajegan nilai-nilai etis keagamaan.

Kendati demikian peristiwa-peristiwa tersebut menurut saya tidaklah bisa dijadikan rujukan bahwa ajaran agama menentang ilmu pengetahuan (sains). Seperti kita ketahui kontestasi pemikiran telah menjadi tradisi dalam perkembangan diskursus keagamaan. Agama-agama selalu merespon pemikiran-pemikiran yang boleh dibilang bertentangan dengan kitab suci atau nilai-nilai etis keagamaan. Dan ini tidak terbatas pada kritik yang ditujukan terhadap sains modern saja. Dalam sejarahnya sebagai misal kritik juga ditujukan pada tradisi sufisme, aliran-aliran sesat dan ideologi-ideologi sekular lainnya.

Dapat dikatakan kemudian bahwa sebenarnya tak ada pertentangan yang bersifat faktual antara sains dan agama, kontestasi antara sains dan agama hanyalah sebatas diskursus publik dan lebih bersifat etis. Beberapa pendapat bahkan menyatakan bahwa sebenarnya kritik yang dilontarkan oleh agama bukanlah kritik terhadap sains dengan makna generiknya. Karena itu lebih tepat untuk mengatakan bahwa kritik agama terhadap sains adalah dalam arti kritik terhadap saintisme.

Perlu diketahui bahwa sains berbeda dengan saintisme. Saintisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa tak ada kebenaran di luar dunia material yang kita hidupi, bahwa tanpa metode ilmiah tak mungkin kita raih sebuah kebenaran (Huston Smith, 2003). Jadi boleh dibilang agama pada dasarnya adalah menanggapi saintisme.

Penulis sains seperti Richard Dawkins adalah contoh juru bicara saintisme kontroversial, ia banyak menulis buku dan berdialog dengan kalangan agamawan berkenaan dengan Darwinisme. Bukunya yang berjudul The God Delusion (2006) misalnya kembali mempersoalkan diskursus perenial tentang keberadaan Tuhan dan relevansi agama dalam dunia kehidupan. Argumentasi tentang problem theodicy dan kekerasan atas nama agama kembali dikemukakan oleh Richard Dawkins.

Pandangan dunia Darwinisme memang biasanya dipahami sebagai mainstream saintisme. Agama-agama seperti kita ketahui berdiri paling depan untuk menanggapi pandangan dunia ini. Institute for Creation Research (ICR) sebagai misal muncul di wilayah publik Amerika Serikat sebagai tanggapan terhadap Darwinisme. ICR mencoba memperkenalkan creation science sebagai alternatif dari konsep penciptaan perspektif Darwinisme yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sains kreasi (creation science) menjelaskan argumen-argumen ilmiah yang menyatakan bahwa alam semesta tidak hadir begitu saja, melainkan diciptakan. Dan bahwa syarat-syarat kehidupan adalah adanya perancang cerdas (intelegent design theory). Selain itu mengemuka juga gagasan young Earth creationism. Teori ini menjelaskan bahwa bumi berumur tidak lebih dari 10.000 tahun, mengikuti kronologi penciptaan secara biblikal, berbeda dengan penelitian sains modern yang menyatakan bahwa bumi berumur 14 milyar tahun. (Niall Shanks, 2006).

Di Turki, kita kenal Harun Yahya seorang pemikir antisaintisme yang banyak melontarkan kritik terhadap klaim kebenaran universal sains, terutama sains dalam konteks Darwinisme. Ia banyak menulis artikel, buku dan membuat film mengkampanyekan anti-Darwinisme. Menurutnya ada keterkaitan antara pandangan dunia Darwinisme dengan munculnya ideologi-ideologi pada masa perang dunia, seperti fasisme dan komunisme.

Tanggapan terhadap saintisme juga muncul dalam filsafat perenial. Sebuah filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran filosofis (ilmiah) juga dapat ditemukan dalam tradisi dan wahyu kitab suci (scripture). Seyyed Hossein Nasr adalah contoh pemikir filsafat perennial yang memberikan kritik terhadap saintisme. Ia merumuskan sebuah pengetahuan yang ia istilahkan dengan sacred science (1993).

Sacred science atau pengetahuan/sains yang suci menurut Nasr adalah sains tertinggi. Pengetahuan ini bersifat metafisis dan berada dalam adanya manusia dan tentunya memiliki keterkaitan dengan prinsip-prinsip Illahiah. Sains suci menurut Nasr mempunyai makna bahwa ia bisa dicapai oleh intelek murni. Namun Intelek di sini tidak sama dengan yang berkembang dalam peradaban modern. Intelek murni lebih bermakna sebagai kecerdasan yang terungkap secara spiritual. Berkenaan dengan perkembangan sains dan teknologi dan juga tentunya saintisme, SH Nasr  melihat bahwa ilmu yang dilandasi oleh sesuatu yang bersifat Illahiah atau sakral (sacred science) menurutnya mestilah dijadikan semacam sumber kritik terhadap ilmu pengetahuan modern saat ini yang bersifat materialistik.

Seperti kita ketahui tradisi kritik saintisme tidak hanya dari paham keagamaan saja. Kritik feminisme terhadap sains sebagai misal muncul sebagai kritik terhadap sains yang bias gender atau androsentris, dominasi cara berpikir laki-laki. Sandra Harding adalah contoh pemikir feminis yang mengkritisi perkembangan sains modern. Epistemologi feminis yang ia kembangkan telah memberikan perspektif baru dalam riset ilmiah. Standpoint theory sebagai misal adalah epistemologi feminis (kritik sains) yang dikemukakan oleh Sandra Harding (Adeline MT, 2004). Teori ini menjelaskan bahwa dalam sains, perspektif perempuan dalam sebuah penelitian adalah sangat penting untuk menggapai sains yang baik. Selain itu menurut Sandra Harding riset ilmiah dalam perspektif feminisme memerlukan objektivitas yang lebih keras (strong objectivity). Sandra Harding melihat bahwa objektivitas dalam setiap penilitian yang selama ini diterapkan belum cukup ketat.

Kritik saintisme juga diungkapkan oleh Don Ihde, ahli filsafat sains dan teknologi, dalam bukunya Bodies in Technology (2002). Ia mengkritisi perkembangan sains yang bersifat visualis. Menurut Don Ihde dalam sejarahnya setiap hasil penelitian sains kemudian direduksi dalam bentuk visual saja. Visualisme dalam analisa Don Ihde bermula dari Leonardo da Vinci dengan gambar-gambar anatomi tubuh manusia dan teknologi optis yang digunakan oleh Galileo pada masa revolusi sains, dan juga ditemukannya teknologi fotografi. Setelah masa ini visualisme menjadi tradisi dalam sains. Jadi ada kecenderungan untuk memvisualkan setiap pencapaian pengetahuan (visualisme). Tentulah pengetahuan tak bisa direduksi sebatas visual saja, ada kualitas inderawi lainnya yang menjadi syarat keutuhan sebuah pengetahuan.

Saya pikir tidaklah berlebihan jika agama-agama memberikan tanggapan atau kritik terhadap sains kontemporer (teknosains), terutama ketika sains kemudian menjadi saintisme. Perubahan iklim dan seringnya terjadi bencana alam menjelaskan bahwa peradaban bumi semakin tidak seimbang. Demikian pula pembuatan senjata nuklir yang mengancam tatanan kehidupan. Sementara itu, kita saksikan bahwa sains dan teknologi terus bergerak bersama dengan kepentingan kapitalisme global yang tampaknya tak memperdulikan kelestarian bumi dan lingkungan sekitar.

Memahami alam semesta dengan perspektif spiritual saya pikir dapat menjadi alternatif untuk mengatasi persoalan tersebut di atas. Sains seperti kita ketahui memahami realitas semata-mata hanya dalam perspektif positifis (materialis), kebenaran ditentukan secara teknologis sampai tingkat subatomik. Cara pandang positifis-empiris tentunya tak bisa kita dijadikan satu-satunya sumber kebenaran. Dalam konteks inilah menurut saya ilmu pengetahuan mesti mengacu pada nilai-nilai etis-teologis sebagai tujuan utamanya.●