Uncategorized


Menimbang Pendidikan Poshumanistik

Oleh: Budi Hartanto

Pendidikan bermula dari lingkup politis paling sederhana seperti keluarga. Dengan pendidikan yang bersifat kultural seperti keluarga nilai-nilai kebaikan atau etika-moral dalam batas-batas agama dan kebudayaan tertanam dalam diri manusia. Keluarga memang dipahami sebagai struktur mendasar dari terlaksananya sebuah pendidikan.

Plato, filsuf Yunani klasik, mengatakan bahwa syarat-syarat seseorang mempelajari filsafat pada mulanya adalah memahami geometri. Namun sebagaimana sering dirujuk, sebenarnya dalam pemikiran Plato keikhlasan dan kebaikan yang menjadi syarat utama seseorang untuk memahami pengetahuan filsafat (Majid Fahkry, 2002). Demikianlah bahwa pada dasarnya pendidikan identik dengan etika-moral, sejak awal ia menjadi tolak ukur pencapaian sebuah pengetahuan.

Sebelum masa renaissance di Eropa, pengetahuan (sains) dan etika-moral adalah sebuah kesatuan. Pendidikan sains tak terpisah dengan pendidikan keagamaan. Namun dalam perkembangannya seperti kita ketahui terjadi pemisahan. Sains atau ilmu pengetahuan menjadi independen dan tak lagi dikaitkan dengan etika-moral keagamaan.

Munculnya sains modern yang lepas dari ilmu keagamaan seperti tercatat dalam sejarah berawal dari gerakan intelektual humanisme: yakni dari masa renaisance (abad 14 M), revolusi ilmu pengetahuan (Copernicus/Galileo), dan kemudian mencapai puncaknya pada masa pencerahan (Immanuel Kant) pada abad 18 M.

Model pendidikan saat ini seperti kita ketahui berpijak pada paradigma humanistik yang mulai menggejala sejak zaman renaisance ini, sebuah periode sejarah dimana para pemikir kembali menggali khasanah kebudayaan Yunani kuno. Gerakan intelektual yang biasa disebut humanisme ini mempunyai tujuan mewujudkan individu-individu rasional dan bermoral, dan juga menekankan agar manusia berani untuk berpikir sendiri (sapere aude).

Pertanyaan kemudian muncul berkenaan dengan humanisme sebagai fondasi dari pendidikan. Apakah ia masih relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan juga dalam konteks negara Indonesia yang masyarakatnya sebagian besar masih memegang tradisi dan religi? Saya pikir humanisme tidaklah tertutup terhadap kritik atau komentar.

Pendidikan dengan paradigma humanisme bila kita cermati masih menempatkan cakrawala pengetahuan terbatas atau berfokus pada nilai-nilai ideal teoritis. Jenjang tertinggi dalam pendidikan misalnya hanya mensyaratkan pengetahuan tentang filsafat saja. Semua bidang studi sampai titik tertentu mesti mengetahui dimensi filosofis dari ilmu yang dipelajari. Penekanan dimensi praktis dan teknologis pengetahuan belum mendapatkan tempat utama dalam pendidikan.

Di Indonesia, pentingnya pendidikan berbasis riset (praktis-teknologis) baru-baru ini saja digaungkan. Universitas Indonesia (UI) misalnya telah menjadikan riset sebagai platform dari pendidikan yang diselenggarakannya. Saya kira ini langkah yang baik yang perlu diikuti oleh universitas lainnya. Pendidikan berbasis riset tentulah penting dalam peradaban teknologi yang kita hidupi sekarang.

Keutamaan nilai praktis-teknologis pengetahuan sebagai bagian integral sebuah peradaban pernah dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqadimmah (1377). Aktualitas atau penerapan pengetahuan dalam bentuk the craft (keahlian/keterampilan) menurut Ibnu Khaldun adalah syarat berkembangnya sebuah peradaban. Berkenaan dengan aktualitas atau direct practice dari ilmu pengetahuan ini ia juga mengatakan bahwa keahlian (skill) yang bersifat teknis dan praktis itu memerlukan guru. The craft required teacher demikian kata Ibnu Khaldun. Artinya keahlian tidaklah terbentuk begitu saja, proses transfer sains dan teknologi menjadi syarat dinamika peradaban. Skill/keahlian (the craft) tak akan berkembang tanpa adanya proses transfer teknologi dan pendidikan skill itu sendiri.

Kritik terhadap humanisme dalam pendidikan juga mengemuka dalam hal universalitas sains dan teknologi. Humanisme dalam arti tertentu masih menekankan nilai-nilai universal sains dan teknologi. Kecenderungan ini misalnya dapat kita lihat dalam pendidikan sains yang ada yang selalu merujuk pada sains Barat.

Saya pikir nilai-nilai yang bersifat partikular (partikularitas) dalam sains dan teknologi mesti diberdayakan. Terutama tentu saja ketika ia digunakan dan dipahami sebagai bagian dari kebudayaan. Pemikiran tentang nilai relatif dan partikular dari sains dan teknologi misalnya diungkapkan oleh Don Ihde (1990) seorang filsuf teknologi. Ia mengatakan bahwa teknologi bersifat multistabil, dengan kata lain setiap kebudayaan mempunyai ciri khasnya masing-masing dalam memahami dan menggunakan teknologi.

Multistabilitas dalam melihat sains dan teknologi akan membawa kita pada sebuah dunia pluralistik, yang tentunya sesuai dengan fitrahnya. Universalisme dalam sains dan teknologi saya kira hanya akan mencipta dunia yang tak seimbang secara teknologis atau dalam istilah Karl Marx: cripple monstrousity. Kemajuan teknologi komputer dan permesinan sebagai misal sekarang telah mengambil kerja-kerja manusia dan dalam arti tertentu telah mencipta dunia seperti yang disinyalir oleh Karl Marx. Konsekuensinya pendidikan komputer (manajemen informasi, desain, pemograman, dll.) banyak bermunculan, sedangkan pendidikan sains dan teknologi lainnya yang lebih mendasar, seperti fisika, biologi, kimia dan juga metalurgi hampir tidak kita temui selain di universitas-universitas besar, tidak populer dan jumlah peminatnya relatif sedikit. Pengetahuan komputer yang mempunyai esensi pada perhitungan atau kalkulasi memang semestinya dimbangi dengan pengetahuan lainnya.

Kita ketahui bahwa teknologi telah mencipta dunia yang telah melampaui kodrat kemanusiaan. Akibatnya banyak persoalan moral yang muncul yang tidak hanya melibatkan manusia tapi juga artifak teknologi. Dalam konteks inilah saya pikir diperlukan pendidikan poshumanistik, yakni sebuah pendidikan praktis-teknologis dan berorientasi etis dalam memandang kemajuan, perkembangan atau pembangunan. Jadi selain mengutamakan problem-solving, diperlukan etika teknologi yang berpijak pada kebaikan yang lebih luas dan tentu saja yang ramah lingkungan tanpa melupakan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang bersumber dari agama dan kebudayaan di Indonesia.

Demikianlah dalam tulisan ini penulis ingin mencoba menyampaikan bahwa sebenarnya humanisme yang bersumber dari tradisi pengetahuan Yunani kuno tidak bisa dijadikan satu-satunya rujukan berkenaan dengan fondasi ilmu pengetahuan (sains) dan nilai-nilai etika-moral. Terutama tentu saja ketika perkembangan teknologi baru telah mencipta dunia yang melampui kodrat kemanusiaan dan juga dalam konteks penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.●

Sepertinya semua fantasi teknologi baru tak ada yang menjadi kenyataan. Seperti mimpi Leonardo da Vinci ini dan karpet terbang:)

 

Religion and the need of RI’s technological culture  

By: Budi Hartanto

A controversy arises when we talk about the relationship between religion, science and technology. For example there is general supposition that religion is anti-science. What makes this assumption very common to all the people? So many events written in history showed that religions had always been so hostile to a certain kind of novelty. We can recall such events as the burning of Mohamad Ibn Rushd’s (averoes) books on Aristotelian philosophy in 12th century, the case of outstanding Italian scientist Galileo Galilei, and the controversy of Darwin’s theory of evolution. These events mark the very image of religion.

But if religion is anti-science, how can it survive the modern age? It is, in my opinion, because religion accommodates every new invention in technology. We virtually haven’t heard anti-technological disposition in religion. Even in the Koran we find many verses (ayat) explaining about technological development in human civilization. We know the stories of Noah who build an ark, David and his iron cloth (armor), and Iskandar Dzulkarnen who melted a copper and an iron to create a large metal wall to protect people who almost do not understand any speeches.

In contemporary philosophy, we found so many philosophers who commented on religion. Jacques Derrida is one of the leading postmodern philosophers who reflected on religions. In Faith and Knowledge (2002), he described the meaning of religion and the abstract relation between religion and technology.

According to Derrida “religions today allies it self with tele-technoscience, to which it reacts with all its forces”. Apparently religion is not critical to technology, it allies it self with technology, tele-technoscience. But this relationship according Derrida is ambiguous. He explained that in the context of tele-technoscience human body is disappear, as we know human body is very important in religion (Giovanna Borradori, 2005). From Derridean analysis we can make a statement that actually religion resides its trajectory with material science, with technology. It is technology that supports religion, not the miracles and the superstitious mind.

So religion is rational in the sense that it accommodates every new invention in technology. Although science received so many critics from religion for example in biology: cloning, genetic engineering, etc., but technology apparently free from critic.

In the discourse of philosophy of technology there is a tendency to reexamine the ethics and the life of technology. And it started with existentialism. Pessimism overwhelms existentialism when we talk about technology. Heidegger, for example, said in his book The Question Concerning Technology (1977), What is dangerous is not technology. There is no demonry of technology, but rather there is the mystery of its essence.” Technology in certain sense is the unseen threat of freedom and authenticity. Another existentialist philosopher, Gabriel Marcel, has made no hesitation to explain that technology existentially is antihuman, technology alienates man from its essence and eliminate the virtue of the sacred. In Gabriel Marcel philosophical reflection, ‘technical man’ in high technological civilization is not the ideal man of the future. (Bernard A. Gendreau, 2001).

Of course technique here is not something without values. Marcel apparently wants to explain that highest human essence is not in its technical dimension; beyond of that, it is his existentialistic, sacred, and authentic being.

Thus in my opinion technology is not something free from critic. Critic here doesn’t mean opposing technology; critic is very common in philosophy of science and technology, it is like critic of literature. Here I am not pretending to defy the development of technology; I just want to say that technological artifacts are not everything.

In the context of high technology Indonesia is a consumer country. That means we use many high technological artifacts from the outside world. I think it is wise to select technology in the term of Indonesians personality and mentality. It is not wise to receive all technology from outside world without considering the vision of cultural and particularly religious wisdom.

Indonesia has very diverse culture, and Islam is a majority. Shaping the culture of technology is imperative in order to survive in global and technological civilization. But what kind of technological culture should we find here?

Firstly, in my opinion the culture of technology is a culture that needs to comprehend a technical essence of its technological artifacts. Not only in technical term, for example, the science and technology behind the artifact. But the most important is its instrumentality: which grasp all to gather the meaning and the purpose of technology it self.

Secondly, technological culture depends on the vision of national culture and religious wisdom regarding the development of technology. To receive all technology without reflecting on our culture and personality is not good decision.

The philosopher of technology, Don Ihde said in his book Technology and the Lifeworld (1991) that technology is multistable, in other word it is relativistic, which implies that every culture geographically has its own technological vision and trajectory. Technology is not universal.

To build technological culture is necessary in the context of fast development of technological civilization. I think we all agree that we do not want to be alienated technologically in the future. So what thing should we accomplish here? We need good science education as infrastructure to strengthen our technology. Science education is the most important thing concerning the infrastructure of high technology. Optical instruments and other scientific instruments need to be widely socialized, particularly in every public school to introduce the technological world which is now becoming ’the very paradigm of institutionalized rationality’. Because modern technology based on science, managing science education is vital to build the Indonesian’s technological culture. In conclusion, we need to strengthen science education as infrastructure of high technology without forgetting the knowledge of our own religious and cultural personality.

 

 

Koran Tempo Minggu, Ide.  8 Mei 2005.

Tafsir Monade

Sebagai Ruang Mistik

(Dari seminar Ruang dan Fragmentasi. Instruktur: Dr. F. Budi Hardiman) 

Oleh: Budi Hartanto

Dalam memilah-milah tubuh dunia, nalar kita terbentur pada asumsi tentang entitas otonom yang tak dapat terpilah dan terbagi. Al-Quran menyebut entitas ini sebagai dzarah, dalam ranah sains ia biasa disebut atom, dalam ranah filsafat (modern) tersebutlah entitas yang tak dapat terpilah dan terbagi ini sebagai monade.

 Monade adalah neologi filosofis yang hadir dalam pemikiran Gottfried Wilhelm von Leibniz. Monade dalam pemikiran Leibniz secara sederhana dapat diuraikan sebagai entitas fundamental, elemen spiritual, unit metafisis, kekuatan mistik, dan “mesin atomik” yang memberikan forma beragam macam entitas material yang ada di alam semesta raya. Tidak seperti atom atau dzarah yang tidak mengandung kualitas, monade selalu dipenuhi kualitas yang tidak sama.

Dalam membentuk sesuatu, monade bergerak secara otomatis. Ia adalah mesin atomik yang bekerja di bawah kontrol “sang maha Pemilik”–tatanan Ilahiah. Dengan lain kalimat, ia merupakan jiwa-jiwa otonom yang mempunyai tugas mengontruksikan ruang yang kita kenal sebagai alam semesta raya. Sebagai mesin atomik, monade dalam pemikiran Leibniz selalu tercipta dan mempunyai awal dan akhir (Monadology Aforisme No. 6); seperti semua bentuk kehidupan dapatlah dikatakan bahwa monad juga dapat mati.

Sebagai kekuatan mistik, ia tentulah bekerja secara misterius. Kita tidak bisa mengetahui secara komprehensif mengapa dan bagaimana ia membentuk planet bumi atau matahari. Kita hanya mengetahui bahwa hasilnya adalah keselarasan-dunia yang kita tinggali dan kita betah di dalamnya.

Kita juga tidak dapat memprediksi cara kerjanya, karena dalam pemikiran Leibniz ia adalah ruang tertutup, tak berjendela. Analog dengan sifat zat subatomik (elektron), mekanika kuantum, yang tak dapat diprediksi.

Seperti telah disebutkan, ruang-waktu merupakan manifestasi dari kerja-kerja monade sebagai mesin atomik. Karena ia merupakan kekuatan mistik, ruang-waktu sebagai alam yang kita pahami tentulah menjelma menjadi kesatuan ruang mistik. Namun, ruang mistik dapat dikatakan sebatas tatanan material yang belum tersingkap. Ruang itu tersingkap sepenuhnya dalam relasi jiwa-jiwa monade yang kemudian disadari eksistensinya oleh jiwa manusia.

Manifestasi jiwa monade membasuh ruang-waktu yang kita pahami (alam semesta) menjadi ruang mistik. Ini dapat dimengerti lewat tafsir monadologis: jiwa-jiwa monade yang diekuivalenkan sebagai jiwa manusia.

Jiwa manusia tentulah juga manifestasi sekumpulan (jiwa) monad. William Barret dalam bukunya, Death of the Soul: Philosophical Thought from Descartes to Computer menjelaskan bahwa tubuh yang membungkus jiwa merupakan komunitas monad yang merekat. Komunitas ini saling terhubung membentuk unit dan substruktur yang akhirnya membentuk seorang manusia, karena manusia tentunya bagian dari alam itu sendiri.

Sebagai mesin (spiritual) atomik, monade dapat ditafsirkan mencipta kualitas ruang; yaitu ruang di dalam dirinya sendiri yang tertutup. Ruang inilah benih dari ruang mistik. Jadi ia dapat dimengerti sebagai prinsip internal.

Sebagai ruang mistik, prinsip internal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan Leibniz sebagai prinsip (internal) penciptaan. Prinsip internal ini saya asumsikan sebagai ruang mental atau ruang kesadaran. Contoh, kita tidak mengetahui prinsip internal monad seekor macan. Artinya, apa yang terjadi (dirasakan) binatang buas itu adalah khas dirasakan dirinya sendiri.

Seperti ketika kita punya kehendak atau niat dalam jiwa, dalam konteks ini orang lain tidaklah bisa memprediksinya. Karena itu, sebagai entitas spiritual dan mistik ia bukanlah ruang kosong, melainkan selalu dipenuhi kualitas.

Manusia sebagai manifestasi monade, mencipta (diciptakan pengalaman) ruang dalam dirinya. Dalam ranah jiwa misalnya, ruang menjadi padat sebagai subyek sadar yang mempunyai kehendak, kebebasan atau kualitas-kualitas lainnya. Dalam ranah tubuh, ruang menjadi relatif sebagai unit substruktur kemanusiaan.

Darah, hati, jantung, otak, mata, sel darah putih, dan bagian tubuh lainnya dapat dikatakan sebagai ruang monad yang berekstensi secara materi sebagai manifestasi mesin atomik. Lewat tafsir monadologis, mesin atomik ini membentuk harmoni yang akhirnya menghadirkan jiwa dominan-the Self.

Individu sebagai jiwa dominan tentulah hanya menyadari dirinya sendiri, sebagai subyek (the self) yang tak terpilah dan otonom. Begitu juga sel-sel tubuh. Kita tidak dapat mengetahui atau mengintip ke dalam ruang sel untuk mencari tahu apa motifnya dan bagaimana ia bisa menjadi harmonis. Sel-sel memiliki ruang dan kehendaknya sendiri yang bekerja secara harmonis.

Dalam sistem berpikir monadologis, sel adalah juga individu yang mempunyai kualitas. Individu yang sudah cukup diri. Tentu karena ada aksi internal yang otonom yang membentuk keselarasan sesuai dengan mode-mode Ilahiah.

Manusia sebagai manifestasi jiwa dominan adalah ruang tertutup-manifestasi monade. Ruang ini disadari sebagai jiwa; ruang mental atau ruang kesadaran.

Walaupun ia merupakan ruang tak berjendela, ia dapat melakukan koneksi dengan tatanan Ilahiah yang mengaturnya. Seperti dijelaskan Leibniz, setiap monade tercipta dan harmonis sesuai dengan ketentuan Sumber. Tepat ketika individu sudah sadar diri akan kemonadeannya ia akan mengenal sang pencipta. Ruang kesadaran atau mental tidak tertutup (kafir) lagi. Inilah ruang mistik sejati.

Ruang mistik menghampiri kita sebagai the state of mental yang menaungi cara pandang kita tentang dunia. Ia adalah ilusi dalam beberapa hal, tapi ia juga dapat dikatakan sebagai kenyataan. Kita mengatakannya sebagai ilusi karena tak dapat menyentuhnya secara indrawi. Ia disebut kenyataan karena manusia yang berada di dalamnya merasakan dan mengalami ketersingkapan, bahwa ada yang nyata di balik entitas material.

Kendati ruang mistik ini berada di dalam psyche manusia, keberadaannya tidak seperti ruang dalam konteks imaji puisi (Bachelard). Karena ruang mistik dapat merentang ke dalam kenyataan material. Merentang dalam arti memahami alam raya sebagai kesatuan; yakni jiwa manusia yang memahami alam terbatas atau dalam naungan, katakanlah, ruang bundar kemonadean.

Ruang mistik adalah mode subyektif yang tertutup-tak dapat didialogkan. Namun, dalam konteks ruang kesadaran manusia juga mempunyai mode obyektif. Mode obyektif ini dapat dikatakan dibangun berdasarkan komunikasi.

Sepintas, terlihat adanya asumsi bahwa monad bukanlah ruang tertutup. Lewat komunikasi misalnya, manusia dapat mencurahkan ruang kesadarannya kepada manusia lain. Karena itu, sifat monadologis ruang jiwa manusia sepertinya menjadi hilang.

Melalui sistem berpikir monadologis, sebenarnya dimensi ekternal monade yang dapat dikomunikasikan. Monad tertutup dan tak berjendela dalam ruang kesadaran, dalam arti kehendak yang tak dapat diprediksi, yaitu dalam potensi kebebasan tak terhingga.

Kita bisa saja mengkomunikasikan kehendak bebas kita, tapi ini tidaklah menjadi ketentuan mutlak. Dalam ruang mentalnya, manusia mempunyai potensi berbohong atau mengubah keputusan.

Nah, dalam hal ini yang lain tidak dapat mengetahuinya. Dalam arti ini juga ruang jiwa sebagai monad tertutup dan tak berjendela.

Edward S. Casey dalam bukunya, The Fate of Place: Philosophical History, menafsirkan ruang eksternal (material/tampakan luar) adalah situasi dalam posisi lokalitas dan kuantitas. Dapat diasumsikan bahwa situasi dan kuantitas inilah yang sebenarnya dapat dikomunikasikan.

Seperti yang dijelaskan Leibniz bahwa ruang dalam keluasan kuantitas bersifat relasional. Ketika kita berkomunikasi, ruang jiwa membentuk sistem relasional. Ia adalah tatanan eksternal, yang secara otomatis dikondisikan tatanan internal monad. Komunikasi dalam hal ini dapat juga dikatakan sebagai harmonisasi.

Sekelompok (tim) manusia berkomunikasi saling membantu melakukan/membentuk sesuatu, itulah harmonisasi. Jadi dapat dikatakan, keselarasan terbentuk lewat komunikasi. Itulah yang dapat ditafsirkan mengenai tatanan eksternal ruang monad.

Dalam konteks lain, tatanan internal manusia (ruang kesadaran yang belum terkoneksi) dapat mengelak dari ketentuan yang telah dikomunikasikan tatanan Ilahiah. Manusia misalnya, diperintah oleh Allah untuk hidup dalam harmoni. Namun, manusia dapat mengelak. Pengelakan ini tentu adalah sebuah pembantahan terhadap tatanan Ilahiah yang menentukan kebaikan bagi makhluknya.

Tatanan Ilahiah menginginkan keharmonisan, tapi manusia dapat membantah atau membangkang-menutup klep ruang mistik. Konkuensi dari hal ini, adalah mungkin, kehancuran. Pembangkangan tentu tidak terjadi pada manusia sebagai jiwa dominan saja. Dalam ilmu genetika, diketahui DNA (deoxyribonucleic acid) zat dasar yang mengkonstruksikan tubuh manusia juga dapat membangkang; atau secara ilmiah ia salah atau tak mau menerjemahkan kode-kode yang telah ditentukan tatanan harmonis. Karena itu, hasilnya pun adalah anomali, individu yang tercipta adalah individu yang tak sempurna.

Mengenali ruang mistik, tentulah tidak semata-mata sebuah pengenalan yang memberikan asumsi tentang pembasuhan ruang eksternal (material atau tampakan luar). Mengenali ruang mistik adalah mengenali sepenuhnya jati diri.

Ruang mistik yang dirasakan dalam diri tentunya juga dapat merentang ke dalam masyarakat. Mengingat manifestasi monade adalah alam universal. Contoh: kita dapat menjelaskan secara sosiologis, dalam hal ini pemikiran Goerge Simmel. Kata George Simmel, masyarakat sebagai kultur adalah hasil dari perkembangan forma eksternal individu. Masyarakat terbentuk lewat fragmen-fragmen individu yang terbuka. Kebiasaan atau adat tribalistik seseorang selalu merepresentasikan kebiasaan sebuah masyarakat sebagai sebuah kultur.

Dari sini dapat diproposisikan bahwa sekelompok individu yang telah menyadari kemonadeannya (ruang mistiknya) dapat juga menjelma menjadi masyarakat mistik. Dalam masyarakat ini harmoni adalah sesuatu yang logis dan rasional. Masyarakat ini boleh dikatakan mempunyai jiwa dominan. Artinya, di dalam masyarakat tersebut bekerja individu-individu sebagai jiwa dalam keselarasan.

Masyarakat mistik adalah konsekuensi logis dari tatanan eksternal (monad) individu-individu yang pasrah dalam keharmonisan yang ditentukan oleh tatanan Ilahiah. Seperti juga terbentuknya tubuh, yang di dalamnya terdapat mekanisme monad yang pasrah dalam keharmonisan.

Karena itu, setelah masyarakat mistik terbentuk terbuka juga kemungkinan, dalam sistem berpikir monadologis, terbentuknya sebuah negara mistik. Negara yang sadar diri bahwa ia mengemban aturan monade primordial; yaitu keharmonisan yang mengangkat nilai-nilai kebebasan, cinta, dan keadilan.

 

This kind of image appear in my mind when I listened to The Meaning of Love. So far away and strange, a brave new world. Desert like landscape. Bravo Joe Satcha!

Abstract

In this piece of writing I explore Don Ihde’s thought on phenomenology of instrumentation. World as poiesis. I’ll try to describe the new public perception constructed by technology. In sub theme, I write Ihde’s plurikultural world which explain how imaging technology create our consciousness that we live in such a world.

Dunia Sebagai Poiesis:

Don Ihde dan Filsafat Teknologi

Oleh: Budi Hartanto

Manusia mempelajari alam dan dirinya untuk menggapai berbagai macam kemudahan. Teknologi kemudian digunakan untuk mengatasi banyak kesulitan manusia dalam menghadapi dunianya. Teknik menjadi kata kunci dari teknologi.

Dalam traktat filsafat Heidegger teknologi juga berarti sebentuk penyingkapan. Ia menulusuri akar kata teknologi sebagai techne, dari filsafat klasik, teknologi dijelaskan tidak hanya sebagai yang bersifat teknis atau sebentuk artisan (kerajinan tangan), tapi juga sebuah poiesis—seni mengungkap sesuatu yang baru. Teknologi dalam arti ini bersifat puitis. Revolusi Copernican misalnya memberikan kita penjelasan tentang karakter poiesis dalam teknologi. Pandangan dunia setelah revolusi ini berubah. Bumi yang sekian lama menjadi pusat alam semesta tergantikan oleh Matahari. Galileo dengan teknologi optiknya menguatkan revolusi dalam ilmu pengetahuan ini.

Bagaimana teknologi mentransformasikan cara pandang manusia tentang dunianya merupakan tema yang menarik untuk direfleksikan, terutama ketika transformasi pengalaman perseptual menjelaskan karakter poiesis dalam teknologi. Demikian pula ketika dipahami adanya relasi antara teknologi dengan kebudayaan. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mendedahnya lewat pemikiran Don Ihde.

Don Ihde adalah filsuf yang memperkenalkan fenomenologi kepada publik Amerika, ia juga banyak menulis tentang filsafat sains dan teknologi. Buku-bukunya yang ditulis tentang filsafat teknologi diantaranya adalah: Technic and Praxis (1979), Technology and the Lifeworld (1990), Instrumental Realism: The Interface beetween Philosophy of Science and Philosophy of Technology (1991), Bodies in Technology (2002). Menurut informasi ia sedang menyelesaikan proyeknya yang bertema Imaging Technology: Plato Upside Down.

Don Ihde melihat bahwa dunia kehidupan sekarang telah berubah secara persepsional, dan ini menurutnya tak lepas dari perkembangan artifak teknologi. Instrumen telah mentransformasikan pengalaman manusia tentang dunianya. Bagaimana hal ini dapat dipahami? Ia mengambil contoh penggunaan teleskop. Sebelumnya tidak kita ketahui terdapat gunung-gunung dan ceruk kawah di permukaan bulan. Namun lewat teleskop diketahui bulan dalam bentuknya seperti seolah-olah kita melihat dalam jarak yang dekat. Lewat artifak teknologi, citra bulan kemudian terbentuk, dipahami dan menjadi rasional dalam kesadaran publik. Tanpa disadari sebenarnya pengalaman manusia yang didapat lewat instrumen telah membentuk dunia itu sendiri. Secara apriori manusia menerima sebuah pandangan dunia yang termediasikan secara teknologis.

Ketika dunia dipahami secara perseptual lewat artifak teknologi, maka pengalaman manusia berubah. Proses transformasi pengalaman ini dijelaskan oleh Don Ihde lewat fenomenologi instrumentasi: yaitu metode fenomenologi yang menempatkan instrumen sebagai ekstensi dari kemampuan inderawi tubuh manusia. Fenomenologi instrumentasi merupakan inti gagasan filsafat teknologi Don Ihde yang menjelaskan bagaimana pengalaman inderawi manusia secara intensional dan perseptual berekstensi lewat artifak teknologi (1979: 3-40).

Agar lebih mudah memahami fenomenologi instrumentasi ada baiknya kita lihat kembali secara sekilas apa yang dimaksud dengan fenomenologi dan juga tanggapan Don Ihde yang kemudian memunculkan istilah posfenomenologi. Untuk memahami fenomenologi memang memerlukan kajiannya tersendiri. Kita bisa membaca, misalnya, filsafat Edmund Husserl atau lebih eksploratif lagi Heidegger dan juga Maurice Merleau-Ponty. Terlepas dari rumitnya konsep fenomenologi sebenarnya dapat kita pahami maknanya secara sederhana. Fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode untuk memahami relasi manusia dengan dunia sebagai struktur yang terberi, dengan pengandaian bahwa tak ada teori atau asumsi-asumsi yang mendasarinya, ini berbeda dengan kecenderungan filsafat modern yang dalam beberapa hal melihat dunia secara konstruktif-epistemologis. Dengan fenomenologi dapat kita mengerti bahwa perspektif subjek selalu bersifat intensional atau tertuju pada sesuatu.

Don Ihde memahami fenomenologi lebih luas dari sekedar relasi subjek atau ego terhadap dunia seperti dalam filsafat Husserl. Ia menggunakan istilah posfenomenologi untuk menjelaskan bahwa tubuh dan instrumen yang bersifat relasional adalah subjek yang memahami dunia secara eksistensial. Kemenubuhan (embodiment) menggantikan kesadaran/ego/cogito dalam konteks fenomenologi filsafat Husserl. Jadi bukan aku yang berada dalam tubuhku, melainkan tubuhku sebagai aku itulah yang memahami dunia. Menurut Don Ihde tak ada inner man atau being inside the box (analogi Camera Obscura: proyeksi imaji dalam ruang gelap) dalam konteks Cartesianisme, kemenubuhan (embodiment) telah menggantikan subjektivitas dalam nalar Cartesian (2003: 11-12).

Relasi kemunubuhan antara manusia dan dunia menjadi pra-kondisi sebuah relasi yang bersifat instrumental. Relasi yang bersifat intensional ini menjadi syarat untuk memahami fenomenologi instrumentasi, karena fenomenologi instrumentasi mensyaratkan terbentuknya sebuah struktur pengalaman. Setelah struktur pengalaman secara fenomenologis telah dipahami, barulah terbuka kemungkinan hadirnya dunia yang lain, dunia yang secara intensionalitas mewujud secara instrumental. Kesadaran tentang dunia yang terbentuk dalam hal ini dimediasikan oleh instrumen. Manusia mengakses dunia lewat instrumen, lewat instrumen persepsi manusia ditransformasikan. Diagramnya dapat digambarkan demikian:

Manusia  ————>      Instrumen      ———->     Dunia

Seperti Galileo melihat planet-planet lewat teleskop, dunia yang dihadirkan oleh teleskop itulah dunia yang tercipta secara perseptual fenomenologis sebagai kesatuan relasional manusia-instrumen-dunia, demikian pula ketika membaca suhu lewat thermometer. Artifak teknologi menjadi medium untuk memahami dunia pengalaman.

Realisme Instrumental

Lewat fenomenologi intrumentasi dipahami bahwa dunia mewujud lewat instrumen, dan inilah poiesis dalam konteks Heideggerian. Sebuah poiesis dimengerti ketika secara ontologis terbentuk sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam kosmologi modern, biologi molekular dan fisika partikel terdapat dunia yang dihadirkan lewat sistem instrumentasi. Dunia dalam konteks ini dikonstitusikan secara instrumental lewat teknologi optik. Karenanya ia mewujud sebatas visual saja atau ia tercipta dalam dua dimensi.

Kendati perkembangan teknologi sekarang memungkinkan tercipta sensor-sensor lainnya, seperti probe (atau robot) yang dikirim ke planet Mars yang bisa menganalisa topografi atau mengukur suhu, namun tetap saja teknologi selalu mengandaikan adanya proses transformasi perseptual. Ini tentu berbeda dengan kecenderungan, seperti kata Don Ihde, kita untuk memahami situasi perseptual yang sifatnya global dan langsung (1979: 79). Di sini kita dapat mengerti bahwa karakter intensionalitas manusia yang tertuju pada dunia pada dasarnya selalu ingin transparan, alamiah atau tak termediasikan oleh instrumen.

Imej atau simbol yang telah mewujud adalah teknologi dalam arti techne, seturut dengan poiesis, sebuah penyingkapan, yaitu ketika dunia yang hadir secara instrumental kemudian menjadi kepercayaan publik. Imej atau simbol yang dihasilkan oleh instrumen kemudian menjadi apa yang Ihde sebut sebagai makroperseptual atau pandangan dunia yang bersifat kultural (1990: 38).

Namun demikian dalam konteks posfenomenologi secara mendasar kita pahami bahwa relasi instrumental manusia dan dunia adalah relasi kemenubuhan. Sebuah relasi yang menjelaskan tentang moda pengenalan dunia inderawi, Ihde menggunakan istilah mikroperseptual untuk moda pengenalan ini. Dokter gigi yang merasakan permukaan gigi lewat probe atau telpon yang kita pakai misalnya adalah contoh relasi kemenubuhan. Instrumen bukanlah ranah yang dituju atau objek pengalaman itu sendiri. Instrumen dalam arti tertentu telah menjadi ekstensi dari tubuh.

Persepsi manusia berkembang lewat pengalamannya menggunakan artifak teknologi. Bila dalam pemikiran Merleau-Ponty dunia terus terbentuk secara perseptual lewat dinamika pengalaman kemenubuhan, Don Ihde lewat fenomenologi instrumentasi melihat lebih luas dari itu, walaupun Merleau-Ponty telah mensinyalir hal ini, dunia menurut Don Ihde terbentuk dan berkembang secara perseptual lewat pengalaman manusia menggunakan artifak teknologi. Aktivitas kemenubuhan yang menjadi syarat terwujudnya dunia pengalaman kemudian diperluas lewat pengunaan instrumen. Dengan instrumen misalnya kita dapat mengukur suhu yang melebihi batas normal yang dapat diterima oleh tubuh. Pengetahuan perseptual inderawi telah berkembang seiring dengan berkembangnya artifak teknologi.

Sains seperti kita ketahui berkembang seiring dengan sistem instrumensi. Sains kontemporer, yang juga biasa disebut teknosains, selalu mensyaratkan penggunaan teknologi dalam setiap penelitian-penelitiannya, terutama teknologi optik yang kini telah menyingkap batas-batas dunia kehidupan.  Berpijak pada sistem visualisasi teknologis sains kemudian menemukan bentuknya seperti yang kita ketahui sekarang, yang kemudian membentuk makropersepsi kita tentang dunia kehidupan.

Tak dapat dipungkiri worldview dunia saintifik yang dikonstitusikan oleh teknologi (instrumen/mesin) telah menjadi pandangan kultural masyarakat modern. Secara fenomenologis dunia yang kita pahami secara mendasar adalah dunia teknologis. Ia hadir lewat proses transformasi pengalaman perseptual yang dimediasikan oleh instrumen.

Kecenderungan ini bahkan telah membawa pada semacam visualisme dalam sains. Don Ihde melihat bahwa perkembangan sistem instrumentasi (terutama teknologi optik) yang bermula pada Galileo telah mereduksi pengetahuan sebatas visual saja. Menurut Don Ihde kemunculan visualisme juga tak lepas dari sosok Leonardo da Vinci yang terkenal dengan gambar-gambar anatomi tubuhnya dan juga ditemukannya teknologi fotografi (2002:37-49). Ada kecenderungan untuk memvisualisasikan setiap pencapaian pengetahuan, padahal pengetahuan tak bisa direduksi sebatas visual, ada kualitas inderawi lainnya yang mensyaratkan keutuhan pengetahuan.

Teknologi telah mengungkap dunia dalam wujudnya yang termediasikan, dalam istilah Don Ihde, inilah ’realisme instrumental’. Realisme instrumental tentulah tidak terbatas pada dunia yang mewujud secara representatif-teknologis. Seperti misalnya dunia yang ditampilkan oleh teknologi optik. Realisme instrumental dalam pemikiran Don Ihde menjelaskan bahwa dunia yang dihadirkan oleh teknologi adalah nyata. Pengalaman manusia yang didapat lewat instrumen teknologi menjelaskan bahwa kenyataan benar-benar dirasakan keberadaannya.

Dunia Plurikultural

Analisis Don Ihde tentang realisme instrumental yang membentuk persepsi secara makro telah membawa kita pada gagasan tentang dimensi sosial dan kultural dari sains dan teknologi. Dari sini kemudian mengemuka sebuah proposisi bahwa teknologi bersifat kontekstual terhadap kebudayaan, teknologi (instrumen) tercipta secara kultural. Karena itulah ia inheren dengan kebudayaan. Nilai praktis teknologi dalam setiap kebudayaan boleh dibilang berbeda-beda.

Di China pada awalnya jam digunakan sebagai kalender astrologis untuk kepentingan imperialistik. Sampai abad 16 M, ketika para Jesuit memperkenalkan jam dalam bentuknya yang kompleks ke China, penunjukan waktu tetap merujuk pada sesuatu yang bersifat kultural. Jam dalam bentuknya yang modern menarik perhatian sebagai objek mekanis atau mesin yang mempunyai daya seni. Padahal ensensi dari jam itu sendiri telah dikenal di China sejak satu abad sebelum Masehi (1990: 28). Demikian pula suku-suku tertinggal di Afrika yang melihat jam sebatas perhiasan, nilai praktis-fungsional jam tidak mereka dipahami.

Kebudayaan menjadi inheren dengan teknologi karena esensi teknik yang dipahami oleh setiap kebudayaan berbeda-beda. Dengan demikian boleh dibilang tak ada teknologi (teknik) dengan makna universal. Pemaknaan atas teknologi yang berbeda-beda dalam setiap budaya menjelaskan bahwa teknologi bersifat kontekstual terhadap kebudayaan.

Teknologi sebagai kebudayaan merupakan fenomena yang dipahami dalam konteks posmodernitas. Permasalahan transfer teknologi dan juga terbentuknya budaya global lewat teknologi-imaji (imaging technology) memberikan sebuah tilikan bagaimana teknologi telah mengkonstruksikan sebuah dunia secara terfragmentasi. Don Ihde menggunakan istilah plurikultural untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu ketika dunia hadir secara teknologis dalam sebuah medium sehingga terciptalah imej kultur global. Lewat artifak teknologi, seperti televisi, kamera foto, cinema dan juga tentunya komputer, imej diproduksi dan direproduksi (1990: 166).

Lewat logika plurikultural, persepsi tentang ruang meluas. Dan ini tentunya tidak hanya dalam ranah mikropersepsi, tapi juga makropersepsi. Imej tentang keberagaman budaya lewat artifak teknologi membentuk makropersepsi manusia tentang dunia yang dihidupinya. Tersingkapnya bagian-bagian dunia (natur dan juga kultur) yang sebelumnya tak pernah kita lihat dan pahami, memberikan pemahaman bahwa persepsi manusia tentang dunianya terus berkembang. Berkenaan dengan hal ini Don Ihde memberi contoh majalah National Geographic yang telah banyak membentuk persepsi tentang dunia-kehidupan.

Plurikulturalitas membentuk secara perseptual sebuah dunia dengan beragam bentuk budaya yang dipahami secara teknologis. Di sini pengalaman tereduksi sebatas imej saja. Kebudayaan direpresentasikan oleh artifak teknologi, plurikulturalitas kemudian menjadi sebuah gestalt yang menjelaskan bahwa kita hidup dalam dunia yang terfragmentasi secara teknologis.●

 

Daftar Bacaan  

Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays, diterjemahkan oleh W. Lovitt, Harper and Row, New York

Ihde, Don, (1979). Technic and Praxis, D Riedel Publishing Company, Holland/Boston: USA

———–,  (1990). Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth, Indiana University Press, Bloomington/Indianapolis

————, (1991). Instrumental Realism: The Interface beetween Philosophy of Science and Philosophy of Technology, Indiana University Press, Bloomington/Indianapolis

————, (2003). Postphenomenology—Again?, Working paper from centre of STS studies no. 3, University of Aarhus

Selinger, Evan, (2008), Introduction to Postphenomenology Discussion, Techné: Research in Philosophy and Technology, Special Issue, Postphenomenology: Historical and Contemporary, Volume 12 Number 2 Spring 2008 Techne.

 

 

 

In the context of a hermeneutics of science, I have been arguing that this expansion of hermeneutics is one which extends to the ‘thingly’, including the things of science and not merely to its history, its cultural context, or its sociology (all of which terms retain the modernist distinctions between social and natural sciences). Implicitly I am also suggesting that if there is to be a hermeneutics of (natural) science, it must be a hermeneutics which reverberates with the actual state of those sciences and not to what they have been at some earlier time. (Don Ihde/Expanding Hermeneutics).

Perlunya Hermeneutika dalam Kajian Keagamaan

Oleh: Budi Hartanto

Sejarah penafisiran al-Qur’an dan kajian etis keagamaan (fiqh) telah membentuk worldview tentang Islam sebagai agama yang kemudian menimbun keutuhan nilai-nilai kewahyuan al-Qur’an. Demikian gagasan yang diungkap oleh pemikir Islamologi Mohamed Arkoun berkenaan dengan kritik nalar Islam. Menurutnya diskursus keagamaan yang telah mentradisi, seperti fiqh dan penafsiran al-Qur’an oleh para agamawan, telah menjadikan ’yang terpikirkan’ dalam al-Qur’an menjadi ’tak terpikirkan’.

Demikianlah bahwa umat Islam lebih banyak menerima ajaran keagamaan secara tak langsung. Umat mempersepsikan Islam sebagai agama lewat para ulama. Fenomena ini tentulah bukan tanpa alasan. Al-Qur’an dan Sunnah mempunyai logikanya tersendiri yang memang memerlukan proses translasi dan transformasi dari para ulama.

Kitab al-Qur’an sebagai misal adalah kitab suci yang mempunyai khazanah sangat luas. Karena itu ‘Ulumul Quran termasuk juga ilmu tafsir dan hadis menjadi sebuah diskursus yang sangat berkembang dalam tradisi keilmuan Islam.

Namun bila kita lihat fenomena Islam sebagai agama dalam konstelasi sosial dan politik dunia jelaslah tergambar bahwa ia belum dipahami secara utuh. Seperti contoh masih sering kita saksikan fenomena fundamentalisme yang berujung pada tindakan terorisme dan juga problem-problem kemanusiaan dalam negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Tentu hal ini memberikan sebuah pemahaman bahwa esensi Islam sebagai agama rahmat belum benar-benar dipahami.

Pertanyaan kemudian dapat diajukan apakah cukup hanya memahami ilmu tafsir atau penafsiran agamawan terhadap al-Qur’an dan hadis yang telah mentradisi dalam sejarah keilmuan Islam untuk mendapatkan esensi nilai-nilai keagamaan? Mungkinkah digunakan metode selain tersebut di atas dalam konteks penafsiran agama?

Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebenarnya diperlukan tafsir keagamaan yang berasal tradisi ilmu-ilmu empiris seperti hermeneutika. Hermeneutika dalam sejarah perkembangannya muncul dalam konstelasi filsafat barat, sampai kemudian established sebagai disiplin ilmu dalam aras ilmu-ilmu sosial. Ilmu ini memang mempunyai tradisinya tersendiri dan terkait dengan pemikiran-pemikiran besar, seperti misalnya Sigmund Freud dan Karl Marx. Beberapa filsuf kenamaan seperti misal Heidegger, Gadamer, Michel Foucoult, dan Paul Ricour secara khusus membahas problem hermeneutika (penafsiran teks) dalam pemikiran filsafatnya. Tentulah ini menjelaskan bahwa memang tak mudah untuk memahami keutuhan dan kebenaran makna sebuah teks.

Apakah relevan ilmu hermeneutika digunakan untuk menggapai kebenaran makna atau esensi agama yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis? Relevansi hermeneutika dalam kajian Islam menjadi isu atau polemik yang cukup menarik perhatian. Para pemikir seperti Moh. Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Abu Zayd  dan para pemikir Islam di Indonesia menaruh perhatiannya pada relevansi hermeneutika terhadap kajian keislaman, terutama berkenaan dengan pemahaman al-Qur’an.

Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi misalnya menulis buku yang berjudul Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an (2007). Buku ini menjelaskan ketisaksetujuan penulis bila hermeneutika diterapkan dalam proses penafsiran al-Qur’an. Kritik juga ditujukan dalam pengantar buku ini pada kebijakan dalam pendidikan tinggi Islam jurusan tafsir dan hadis di Indonesia yang mewajibkan mata kuliah hermeneutika.

Dari buku tersebut saya mendapat pemahaman bahwa sebenarnya kita tak bisa melepas nilai-nilai keimanan dan keislaman (religiusitas) dalam menafsir al-Qur’an. Inilah yang membedakan tradisi tafsir al-Qur’an dengan hermeneutika yang bersifat objektif dan ilmiah. Dalam hermeneutika, untuk mendapatkan kebenaran makna sebuah teks mesti disikapi secara profan, nila1i-nilai kesakralan/religius tak bisa dilibatkan dalam proses penafsiran.

Terlepas dari permasalahan etis-teologis, tentulah tujuan al-Qur’an diturunkan ke bumi agar ia dapat dimengerti dan dipahami oleh umat manusia. Sebuah tantangan saya pikir mengapa hermeneutika penting dalam kajian keagamaan. Karena ini menyangkut pemahaman tentang Islam itu sendiri dan kebenaran makna teks al-Quran dan al-Hadis.

Analisa menarik tentang teks al-Qur’an dikemukakan oleh Murtaza Mutahheri seorang filsuf Iran dalam bukunya Man and Universe (2003). Menurutnya al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan kitab-kitab atau tulisan-tulisan manusia lainnya, seperti buku filsafat, sains, sastra, dan sejarah. Menurut pembacaan Murtaza Mutahheri gaya tulisan al-Qur’an tidaklah sama seperti puisi dan prosa, ”The Holy Al-Qur’an has no poetic imagery nor fanciful similes and metahphors.” (2003: 169). Demikian kata Mutahheri. Al-Qur’an adalah kitab wahyu, sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah sebagai panduan hidup umat manusia dan rahmat semesta alam.

Berdasarkan asumsi tersebut di atas sebenarnya dapat pahami bahwa ada dua perspektif dalam melihat al-Qur’an. Pertama ia adalah sesuatu yang Illahi dan sakral, yang kedua adalah ketika ia dipahami bernilai profan sebagai panduan hidup umat manusia. Bila dilihat sebagai kitab yang sakral tentulah ilmu-ilmu manusia seperti hermeneutika tidak dapat digunakan untuk menafsirkan teks al-Qur’an. Hanya tradisi keagamaan yang terkait dengan nilai-nilai keimanan yang punya ’otoritas-etis’ menafsirkan al-Qur’an.

Namun bila kita lihat al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang dibahasakan dengan bahasa manusia tentulah tak ada salahnya menggunakan hermeneutika sebagai sebuah sains untuk memahami kebenaran makna al-Qur’an. Ada beberapa poin yang dapat dijadikan argumentasi berkenaan dengan kontroversi penggunaan hermeneutika dalam kajian keagamaan.

Pertama, hermeneutika adalah ilmu yang bebas nilai, tak ada kepentingan lainnya selain kebenaran makna teks itu sendiri. Walaupun ia berkembang dari tradisi filsafat barat yang dekat dengan tradisi keilmuan Kristen, namun dalam perkembangan ia adalah telah menjadi bagian dari ilmu-ilmu empiris. Kedua, teori-teori besar yang berpengaruh dalam perkembangan peradaban yang digunakan sebagai moda pemecahan hermeneutis dalam filsafat manusia; seperti misal teori psikoanalisa Sigmund Freud dan kritik masyarakat Karl Marx secara tak langsung telah membongkar misteri kesadaran manusia modern. Ketiga, kemungkinan terungkapnya kejelasan makna akan mengembalikan esensi kewahyuan Al-Qur’an sebagai rahmat bagi semesta alam. Dengan melihat al-Qur’an secara profan pesan kosmis tentu akan lebih mudah dipahami sebagai panduan kehidupan sosial dan juga tentunya spiritual.

Hermeneutika saya kira adalah sebuah tantangan tersendiri bagi perkembangan kajian keagamaan. Di sini penulis tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa hermeneutika lebih menawarkan kebenaran. Penulis hanya ingin menyatakan bahwa membumikan al-Qur’an adalah sangat penting dalam peradaban teknologi yang sekarang kita hidupi. Saya pikir kitab al-Qur’an tidak bisa terus menerus disakralkan. Waallahu a’lam.●

Mendedah Epistemologi Islam: Sebuah Tanggapan

Budi Hartanto (Pemerhati filsafat sains dan teknologi)

Epistemologi dalam aras ilmu filsafat dimengerti sebagai teori tentang bagaimana pengetahuan manusia dapat diraih. Ilmu menjadi kata kunci untuk memahami apa itu epistemologi. Demikianlah ia dipahami sebagai cabang dari filsafat yang menggejala sampai masa-masa kontemporer.

Istilah menarik berkenaan dengan bagaimana manusia mengetahui Allah, alam dan dirinya diungkapkan oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pendidikan Islam dari Malaysia, dalam seminar bertajuk ”Budaya Ilmu dan Tantangan Epistemologi Islam” di aula masjid DDII Jakarta (14/11/2009). Epistemologi Islam demikian istilah yang diungkapkan oleh Prof. Wan.

Epistemologi Islam dapat dipahami sebagai moda pengetahuan yang berpijak pada wahyu yang melampui akal dan pancaindera. Sebuah sistem pengetahuan yang menurutnya juga tak lepas dari tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para sahabat dan ulama. Menurut Prof. Wan ada keterputusan epistemologis (saluran ilmu) dengan para sahabat, ulama, dan para wali terdahulu. Artinya sebuah upaya menggali epistemologi Islam dalam konteks ini sangat relevan berkaitan dengan kondisi dunia Islam sekarang.

Ilmu menurut Prof. Wan pada dasarnya bersifat eksternal dan mutlak diajarkan oleh Allah kepada manusia. Artinya ilmu tidak diciptakan oleh pikiran. Dengan argumentasi bahwa banyak ayat al-Qur’an memang menjelaskan hal ini. Misalnya ilmu yang diberikan Allah kepada para nabi, seperti ketika Allah mengajarkan nama-nama benda kepada nabi Adam, yang kemudian membuat iblis dan malaikat harus tunduk kepada manusia. Di sini ilmu diinterpretasikan sebagai mutlak dan eksternal yang lepas dari kualitas kemanusiaan yang pada awalnya diberikan oleh Allah kepada hambanya.

Sungguh menarik bahwa rumusan tentang epistemologi Islam dikembangkan pada masa ketika epistemologi dalam konstelasi filsafat mulai ditinggalkan. Richard Rorty adalah seorang filsuf dengan tradisi pragmatisme yang mengungkapkan berakhirnya epistemologi dalam diskursus filsafat barat modern. Fenomena posmodernisme menurutnya telah menempatkan hermeneutika yang bersifat lentur dan terbuka sebagai keutamaan dibandingkan dengan epistemologi. Pendapat lain mengenai relevansi epistemologi juga diungkapkan oleh Don Ihde, seorang filsuf teknologi. Ia membuat terma ”mesin epistemologi” (epistemology engines) yaitu tentang bagaimana realitas pengetahuan dihasilkan oleh artifak teknologis (Bodies in Technology, 2002).

Ada beberapa hal menurut saya yang perlu dipertanyakan berkenaan dengan epistemologi Islam. Misalnya apakah epistemologi Islam berkaitan dengan islamisasi ilmu yang kemudian membentuk sebuah paradigma baru tentang ilmu pengetahuan? Seperti pernah dikatakan oleh Prof. Ahmad Baiquni seorang fisikawan muslim dalam surat pembacanya dalam jurnal pemikiran Islam ’Ulumul Quran. Menurutnya apakah Islamisasi terkait dengan dekonstruksi sistem pengetahuan, seperti kemungkinan mengubah besaran dalam fisika?

Sejauh yang saya tangkap tidaklah demikian. Mendengar apa yang disampaikan dalam ceramah tersebut saya melihat ada kecenderungan fondasionalisme dalam rumusan epistemologi Islam. Sebuah pemikiran yang juga pernah dikemukakan oleh Seyyed Hosein Nasr dalam bukunya The Need of Sacred Science (1993).

Saya kira sudah jelas bahwa esensi wahyu adalah sebagai petunjuk dan penerang kehidupan agar manusia menjadi lebih baik. Agama meliputi banyak hal berkaitan dengan kehidupan praktis manusia, persoalan mua’malah (sosial kemasyarakatan) sebagai misal lebih banyak muncul dalam al-Quran, inilah saya pikir yang menjadi pokok-pokok pengetahuan yang ingin disampaikan oleh al-Quran. Membentuk secara fondasional sistem epistemologi yang berpijak pada wahyu dan tradisi saya kira hanya akan membawa pada semacam dogmatisme.

Ketika penyampaian wahyu berakhir hanya sampai Nabi Muhammad maka pengandaiannya pengetahuan yang berdasarkan wahyu akan terputus dan menjadi statis. Allah mengajarkan ilmu hanya kepada para nabi yang kemudian berakhir pada nabi Muhammad. Maka penafsiran saya bahwa epistemologi Islam bersifat terbatas. Bukankah ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

Selain itu al-Qur’an juga menjelaskan banyak hal tentang fenomena kosmis yang kemudian menjadi sebuah worldview, jadi sebenarnya tidak hanya pengetahuan yang bersifat partikular (epistemologi), tapi sesuatu yang universal (kosmologi) yang dipahami secara empiris oleh semua manusia. Bagaimana bumi dihidupkan dengan hujan, perkisaran angin, peredaran matahari, bulan dan keberadaan bintang Syira adalah beberapa contoh keteraturan kosmis yang disebutkan oleh al-Quran.

Peradaban ilmu yang identik dengan sains dan teknologi yang pada zamannya menggejala dalam dunia Islam menurut saya tidak bisa dijadikan argumentasi bahwa Islam mempra-kondisikan budaya ilmu. Filsafat, sains dan teknologi adalah warisan pemikiran Yunani kuno yang kemudian berkembang dalam dunia Islam.

Karena itu perlu juga diketahui bahwa menyebarnya Islam sebagai agama tidak lantas menyebarnya budaya lmu. Menyebarnya Islam di Nusantara misalnya tidak diiringi dengan menyebarnya tradisi keilmuan yang berkembang di pusat peradaban Islam. Sains dan teknologi tidaklah menjadi tren di kepulauan Nusantara seperti halnya di pusat peradaban Islam. Kita ketahui bahwa tradisi sastra (humanioria) yang malah berkembang. Hampir tidak kita temui saintis muslim di Nusantara, tapi kita temui ulama, wali, dan sastrawan-sastrawan terkemuka. Orang-orang yang tak dapat dipungkiri berjasa dalam mengkonstruksikan kebudayaan (keberadaban) dan membebaskan Nusantara dari kejumudan.

Komprehensi Islam memungkinkan terbentuknya berbagai kebaikan, dan ini tentu tidak bisa kita reduksi terbatas pada ranah pengetahuan (epistemologi) yang kemudian diasumsikan bermuara pada sains dan teknologi. Perlu ditekankan bahwa Islam membentuk sebuah mentalitas yang mestimulasi munculnya nilai-nilai kosmopolitanisme, yang kemudian mensyaratkan tidak hanya karamahtamahan universal sebagaimana dirumuskan oleh Immanuel Kant, tapi juga terciptanya sebuah ’kemaslahatan’.

Kendati demikian apresiasi terhadap gagasan epistemologi Islam perlulah kita kemukakan. Sebenarnya ada yang lebih utama menurut saya berkenaan dengan respon terhadap kegalauan peradaban yang kita hidupi saat ini. Yaitu bahwa kita membutuhkan sebuah sistematika kritik terhadap perkembangan sains dan teknologi. Kritik sains dan teknologi seperti kita ketahui tidak begitu populer dalam kancah pemikiran (Islam) di Indonesia, bahkan boleh dibilang hampir tak ada. Padahal kita ketahui perkembangan sains dan teknologi dalam beberapa hal juga telah membawa mudharat—ketidakseimbangan dan kerusakan alam. Banyak ayat dalam al-Qur’an mengingatkan kita agar tidak berbuat kerusakan di bumi. Saya pikir adalah menarik mengembangkan kritik sains dan teknologi dengan bertolak dari prinsip-prinsip keagamaan.

Ketika Agama Mengkritik Saintisme

Oleh: Budi Hartanto

Perdebatan antara saintisme (sekularisme) dan agama telah menimbulkan anggapan yang salah tentang sains. Sains selalu diasumsikan mengancam eksistensi agama. Padahal bila kita perhatikan sains tak pernah menentang agama dan demikian pula sebaliknya saya pikir agama tak pernah menentang sains.

Beberapa peristiwa seperti tercatat dalam sejarah memang telah membentuk sebuah asumsi bahwa agama menghambat perkembangan sains atau pengetahuan lebih luas. Peristiwa dibakarnya buku-buku sang filsuf Ibn Rusyd di depan publik yang berisi ajaran-ajaran filsafat Yunani kuno oleh penguasa Islam pada abad 12 di Andalusia misalnya menjadi contoh bagaimana paham keagamaan diasumsikan menentang kemajuan ilmu pengetahuan filsafat (sains).

Demikian pula peristiwa diasingkannya Galileo Galilei pada abad 17 oleh gereja Katolik Roma karena mempertahankan kebenaran teori heliosentris dengan fakta teknologi optis yang didapatnya. Teori ini mendapat tentangan kalangan agamawan karena tidak sesuai dengan teks dalam bibel, dan juga dipercaya mengancam keajegan nilai-nilai etis keagamaan.

Kendati demikian peristiwa-peristiwa tersebut menurut saya tidaklah bisa dijadikan rujukan bahwa ajaran agama menentang ilmu pengetahuan (sains). Seperti kita ketahui kontestasi pemikiran telah menjadi tradisi dalam perkembangan diskursus keagamaan. Agama-agama selalu merespon pemikiran-pemikiran yang boleh dibilang bertentangan dengan kitab suci atau nilai-nilai etis keagamaan. Dan ini tidak terbatas pada kritik yang ditujukan terhadap sains modern saja. Dalam sejarahnya sebagai misal kritik juga ditujukan pada tradisi sufisme, aliran-aliran sesat dan ideologi-ideologi sekular lainnya.

Dapat dikatakan kemudian bahwa sebenarnya tak ada pertentangan yang bersifat faktual antara sains dan agama, kontestasi antara sains dan agama hanyalah sebatas diskursus publik dan lebih bersifat etis. Beberapa pendapat bahkan menyatakan bahwa sebenarnya kritik yang dilontarkan oleh agama bukanlah kritik terhadap sains dengan makna generiknya. Karena itu lebih tepat untuk mengatakan bahwa kritik agama terhadap sains adalah dalam arti kritik terhadap saintisme.

Perlu diketahui bahwa sains berbeda dengan saintisme. Saintisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa tak ada kebenaran di luar dunia material yang kita hidupi, bahwa tanpa metode ilmiah tak mungkin kita raih sebuah kebenaran (Huston Smith, 2003). Jadi boleh dibilang agama pada dasarnya adalah menanggapi saintisme.

Penulis sains seperti Richard Dawkins adalah contoh juru bicara saintisme kontroversial, ia banyak menulis buku dan berdialog dengan kalangan agamawan berkenaan dengan Darwinisme. Bukunya yang berjudul The God Delusion (2006) misalnya kembali mempersoalkan diskursus perenial tentang keberadaan Tuhan dan relevansi agama dalam dunia kehidupan. Argumentasi tentang problem theodicy dan kekerasan atas nama agama kembali dikemukakan oleh Richard Dawkins.

Pandangan dunia Darwinisme memang biasanya dipahami sebagai mainstream saintisme. Agama-agama seperti kita ketahui berdiri paling depan untuk menanggapi pandangan dunia ini. Institute for Creation Research (ICR) sebagai misal muncul di wilayah publik Amerika Serikat sebagai tanggapan terhadap Darwinisme. ICR mencoba memperkenalkan creation science sebagai alternatif dari konsep penciptaan perspektif Darwinisme yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sains kreasi (creation science) menjelaskan argumen-argumen ilmiah yang menyatakan bahwa alam semesta tidak hadir begitu saja, melainkan diciptakan. Dan bahwa syarat-syarat kehidupan adalah adanya perancang cerdas (intelegent design theory). Selain itu mengemuka juga gagasan young Earth creationism. Teori ini menjelaskan bahwa bumi berumur tidak lebih dari 10.000 tahun, mengikuti kronologi penciptaan secara biblikal, berbeda dengan penelitian sains modern yang menyatakan bahwa bumi berumur 14 milyar tahun. (Niall Shanks, 2006).

Di Turki, kita kenal Harun Yahya seorang pemikir antisaintisme yang banyak melontarkan kritik terhadap klaim kebenaran universal sains, terutama sains dalam konteks Darwinisme. Ia banyak menulis artikel, buku dan membuat film mengkampanyekan anti-Darwinisme. Menurutnya ada keterkaitan antara pandangan dunia Darwinisme dengan munculnya ideologi-ideologi pada masa perang dunia, seperti fasisme dan komunisme.

Tanggapan terhadap saintisme juga muncul dalam filsafat perenial. Sebuah filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran filosofis (ilmiah) juga dapat ditemukan dalam tradisi dan wahyu kitab suci (scripture). Seyyed Hossein Nasr adalah contoh pemikir filsafat perennial yang memberikan kritik terhadap saintisme. Ia merumuskan sebuah pengetahuan yang ia istilahkan dengan sacred science (1993).

Sacred science atau pengetahuan/sains yang suci menurut Nasr adalah sains tertinggi. Pengetahuan ini bersifat metafisis dan berada dalam adanya manusia dan tentunya memiliki keterkaitan dengan prinsip-prinsip Illahiah. Sains suci menurut Nasr mempunyai makna bahwa ia bisa dicapai oleh intelek murni. Namun Intelek di sini tidak sama dengan yang berkembang dalam peradaban modern. Intelek murni lebih bermakna sebagai kecerdasan yang terungkap secara spiritual. Berkenaan dengan perkembangan sains dan teknologi dan juga tentunya saintisme, SH Nasr  melihat bahwa ilmu yang dilandasi oleh sesuatu yang bersifat Illahiah atau sakral (sacred science) menurutnya mestilah dijadikan semacam sumber kritik terhadap ilmu pengetahuan modern saat ini yang bersifat materialistik.

Seperti kita ketahui tradisi kritik saintisme tidak hanya dari paham keagamaan saja. Kritik feminisme terhadap sains sebagai misal muncul sebagai kritik terhadap sains yang bias gender atau androsentris, dominasi cara berpikir laki-laki. Sandra Harding adalah contoh pemikir feminis yang mengkritisi perkembangan sains modern. Epistemologi feminis yang ia kembangkan telah memberikan perspektif baru dalam riset ilmiah. Standpoint theory sebagai misal adalah epistemologi feminis (kritik sains) yang dikemukakan oleh Sandra Harding (Adeline MT, 2004). Teori ini menjelaskan bahwa dalam sains, perspektif perempuan dalam sebuah penelitian adalah sangat penting untuk menggapai sains yang baik. Selain itu menurut Sandra Harding riset ilmiah dalam perspektif feminisme memerlukan objektivitas yang lebih keras (strong objectivity). Sandra Harding melihat bahwa objektivitas dalam setiap penilitian yang selama ini diterapkan belum cukup ketat.

Kritik saintisme juga diungkapkan oleh Don Ihde, ahli filsafat sains dan teknologi, dalam bukunya Bodies in Technology (2002). Ia mengkritisi perkembangan sains yang bersifat visualis. Menurut Don Ihde dalam sejarahnya setiap hasil penelitian sains kemudian direduksi dalam bentuk visual saja. Visualisme dalam analisa Don Ihde bermula dari Leonardo da Vinci dengan gambar-gambar anatomi tubuh manusia dan teknologi optis yang digunakan oleh Galileo pada masa revolusi sains, dan juga ditemukannya teknologi fotografi. Setelah masa ini visualisme menjadi tradisi dalam sains. Jadi ada kecenderungan untuk memvisualkan setiap pencapaian pengetahuan (visualisme). Tentulah pengetahuan tak bisa direduksi sebatas visual saja, ada kualitas inderawi lainnya yang menjadi syarat keutuhan sebuah pengetahuan.

Saya pikir tidaklah berlebihan jika agama-agama memberikan tanggapan atau kritik terhadap sains kontemporer (teknosains), terutama ketika sains kemudian menjadi saintisme. Perubahan iklim dan seringnya terjadi bencana alam menjelaskan bahwa peradaban bumi semakin tidak seimbang. Demikian pula pembuatan senjata nuklir yang mengancam tatanan kehidupan. Sementara itu, kita saksikan bahwa sains dan teknologi terus bergerak bersama dengan kepentingan kapitalisme global yang tampaknya tak memperdulikan kelestarian bumi dan lingkungan sekitar.

Memahami alam semesta dengan perspektif spiritual saya pikir dapat menjadi alternatif untuk mengatasi persoalan tersebut di atas. Sains seperti kita ketahui memahami realitas semata-mata hanya dalam perspektif positifis (materialis), kebenaran ditentukan secara teknologis sampai tingkat subatomik. Cara pandang positifis-empiris tentunya tak bisa kita dijadikan satu-satunya sumber kebenaran. Dalam konteks inilah menurut saya ilmu pengetahuan mesti mengacu pada nilai-nilai etis-teologis sebagai tujuan utamanya.●


Sains, Agama, dan Kebenaran Perenial

Oleh: Budi Hartanto

Filsafat perenial sebagai suatu moda berpikir holistik dan abadi muncul dari para pemikir yang memfokuskan kajiannya pada agama dan tradisi. Dibedakan dengan sains modern yang secara hakiki hanya berpijak pada acuan empiris, perenialisme melihat bahwa kebenaran juga bisa diraih dengan melihat kembali pada tradisi dan wahyu dalam kitab suci.

Pemikiran tentang perenialisme pada awalnya dikemukakan oleh Aldous Huxley, seorang novelis dan penyair dalam bukunya Perennial Philosophy (1946). Namun dalam perkembangannya ia menjadi sebuah konsep sentral dalam mahzab-mahzab tradisionalis. Seyyed Hosein Nasr adalah contoh pemikir yang mengembangkan gagasan ini.

Seyyed Hossein Nasr mempunyai pemikiran perenial yaitu tentang Sacred Science atau sains yang mempunyai pijakan pada metafisika dan wahyu kitab suci. Pengetahuan menurut interpretasi Seyyed Hossein Nasr mempunyai fondasi pada kehidupan atau tatanan sosial yang terbentuk lewat wahyu dalam agama. Dalam An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1978) ia menjelaskan bagaimana sebuah kosmologi sebagai pengetahuan terbentuk dengan berpijak pada ajaran agama. Sistem pemikiran filsafat Ikhwan al Safa’, Ibnu Sina, dan Al-Biruni yang ditelaah oleh Nasr sebagai sebuah kosmologi, sebagai contoh, mempunyai fondasi dan berpusat pada Tuhan atau teks-teks kitab suci. Konsep alam, yang dibedakan menjadi alam terestrial (sublunar region) dan extraterestrial menjadi sentral dalam pemahaman kosmologi Islam yang dikembangkan oleh para filsuf tersebut.

Proposisi bahwa kebenaran filosofis dapat ditemukan dalam sebuah tradisi dan scripture (teks-teks suci dalam setiap agama) merupakan inti dari filsafat perenial. Tentu saja ini berbeda dengan filsafat barat yang sejak Descartes menafikan agama (kitab suci) sebagai sumber kebenaran. Seyyed Hossein Nasr dalam sebuah wawancara di Journal of Philosophy & Scripture (Fall 2004) menyebutkan para pemikir perenialisme dari tradisi Judeo-Christian dan Islam, seperti Ibnu Sina dan Mulla Sadra yang menulis komentar terhadap al-Quran, santo Thomas Aquinas dan para pemikir Yahudi lainnya yang membuat komentar pada kitab suci.

Dalam sejarah filsafat ilmu kita pahami bahwa kebenaran mengacu pada pengalaman (empiris) yang dalam sains modern ditentukan sampai tingkat subatomik. Instrumen dalam konteks ini berperan menentukan validitas sebuah kebenaran. Dari sini kemudian sebuah teori tercipta, yaitu sebagai asumsi-asumsi yang membentuk sistem dan konstruksi ilmiah tentang alam semesta.

Realitas sebagai sebuah kebenaran dibangun secara teoritis, dalam kritik sains kita ketahui bagaimana sebuah teori pada awalnya menjadi sebuah paradigma (kebenaran realitas) dapat tergantikan dengan sebuah paradigma baru. Beralihnya teori geosentris ke heliosentris, dan teori gravitasi ke relativitas telah memberi pemahaman bagaimana dunia universal lama tergantikan oleh dunia universal yang baru. Sebuah proses yang dalam pemikiran Thomas Kuhn dikenal sebagai revolusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan.

Ini tentu saja berbeda dengan perenialisme yang tak mengenal revolusi dalam pengetahuan. Kebenaran bersifat abadi dan universal, sejak alam semesta tercipta. Semua agama mempunyai ciri kebenaran perenial, pengandaian Seyyed Hossein Nasr tentang hal ini adalah bahwa setiap tradisi dan ajaran keagamaan masing-masing memiliki pemahaman tentang realitas yang melampaui dunia material yang kita pahami.

Pemikiran Charles Darwin tentang evolusi kehidupan menjadi kontroversi karena ia menjelaskan sebuah pengetahuan yang bertentangan dengan perenialisme. Teori evolusi telah memberikan sebuah fakta ilmiah bahwa manusia dan simpanse mempunyai nenek moyang yang sama. Penelitian sains modern dapat menjelaskan bahwa manusia dan simpanse mempunyai kesamaan gen kurang lebih 99 persen.

Teori ini telah membentuk sebuah persepsi sosial bahwa nenek moyang kita Nabi Adam tidak turun dari surga atau langit (identifikasi surga sebagai heaven), melainkan berasal dari bumi. Dalam kitab al-Qur’an, Adam dan Hawa diturunkan oleh Allah dari surga ke bumi. Namun kata turun dalam konteks turunnya Adam dan Hawa dari surga tidak sama seperti penggunaan kata turun/nazala dalam konteks turunnya al-Quran dari langit, kata turun dari surga secara bahasa bisa diartikan turun dari tempat yang tinggi.

Apakah ini berarti surga tempat Nabi Adam berada di bumi? Interpretasi lain bahwa surga tidak berada di bumi adalah keberadaaan Baitul Makmur (QS, 52:4) yang diinterpretasikan oleh para mufasir sebagai tempat (rumah) di langit ke tujuh tempat para malaikat bertasbih. Tampaknya inilah yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan bahwa surga ada di langit.

Menyandingkan sains dan agama memang tidaklah semudah yang kita bayangkan. Karena ini menyangkut cara pandang tentang dunia atau sebuah kosmologi. Banyak pemikir mencoba menyandingkan sains dan agama. Namun seperti kita ketahui sains dan agama tak pernah sejalan, bahkan terkadang terjadi konflik. Memang ada pendapat yang menjelaskan bahwa kesimpulan ontologis dari sains mendukung keberadaan Tuhan atau kepercayaan agama. Sehingga muncul teori-teori yang mendukung kebenaran agama.

Munculnya teori intellegent design (kreasionisme) sebagai tanggapan terhadap teori evolusi misalnya juga dikaitkan dengan kontestasi kebenaran antara sains dan agama. Intelegent design mengungkapkan bahwa syarat kehidupan adalah adanya perancang cerdas. Sebuah teori yang memberikan argumen-argumen ilmiah tentang keberadaan sang Pencipta.

Selain itu ada juga young Earth creationism, teori ini menjelaskan bahwa bumi berumur tidak lebih dari 10.000 tahun, mengikuti kronologi biblikal, berbeda dengan penelitian sains modern yang menyatakan bahwa bumi berumur 14 milyar tahun. Paham young Earth creationism kadang dikaitkan dengan fundamentalisme karena interpretasi literalnya, paham ini menolak teori evolusi dengan argumen bahwa konsekuensi proses penciptaan secara evolutif mempunyai periode waktu yang jauh lebih lama dari tafsir waktu penciptaan dalam kitab suci (Niall Shanks, 2006).

Terlepas dari permasalahan yang sifatnya epistemologis, ilmu pengetahuan memang semestinya mengacu pada nilai-nilai etis sebagai tujuan utamanya. Para ilmuwan, pemikir, dan filsuf tentulah bertangungjawab atas setiap ilmu yang diproduksinya. Dapat dikatakan bahwa setiap teori mempunyai pengaruh terhadap pikiran masyarakat. Dan karenanya bukan hanya pertanggungjawaban rasional saja yang dibutuhkan, tetapi juga pertanggungjawaban yang sifatnya moral.

Mungkin benar pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pengetahuan yang otentik itu melampaui dunia pengalaman, ia adalah sesuatu yang sakral. Dalam konteks inilah kita tetap memerlukan traditional wisdom yang di dalamnya sumber etika dan metafisika sebagai sesuatu yang melampaui sains modern dapat menjadi rujukan. Ini saya pikir yang berpengaruh secara moral pada kehidupan sehari-hari dan relasi kita dengan alam sekitar.●

ccs_6_800

Koran Tempo/Ide, Minggu, 5 September 2004.


MEMAHAMI FILSAFAT TEKNOLOGI

(Sebuah pengantar berdasarkan seminar Filsafat Teknologi, STF DRIYARKARA Jakarta. Instruktur: Dr. Karlina Supelli)

Oleh: Budi Hartanto

Tak banyak orang yang mengenal filsafat teknologi. Karena filsafat umumnya kita kenal sebagai mahailmu yang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia, Tuhan ataupun Wujud (realitas). Untuk itu menghubungkan filsafat dan teknologi akan terkesan tak biasa. Padahal filsafat teknologi adalah salah satu genre dalam ranah filsafat yang dapat dikatakan banyak menarik perhatian para filsuf. Heidegger, Habermas, Jacques Ellul, Don Ihde dan Andrew Feenberg adalah beberapa contoh filsuf yang memberikan perhatian pada hakikat teknologi dalam dunia-kehidupan.

Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno (Aristoteles). Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Heidegger mengungkap hal ini dalam bukunya The Question Concerning Technology (1977). Techne dapat dijelaskan sebagai pengetahuan tentang cara memproduksi atau mentransfomasikan, sedangkan poiesis adalah sebuah penyingkapan, yang dengannya sesuatu yang baru hadir di muka bumi. Pada masa modern filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesis dan kaitannya dengan dunia-kehidupan saja, tapi juga artifak atau teknofak yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan juga kesadaran.

Heidegger adalah salah satu filsuf yang membuka diskursus filsafat teknologi. Karakter dan hakikat teknik (teknologi) bahkan sudah dibicarakan oleh Heidegger dalam buku besarnya Being and Time(1927), yang kemudian dtuntaskan dalam bukunya The Question Concerning Technology(1977). Menurut Heidegger hakikat teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing; membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Yang teknologis kemudian dimengerti bukan semata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.

Refleksi filosofis tentang teknologi telah mencipta tanggapan yang berbeda-beda tentang hakikat teknologi. Di Amerika misalnya dikenal sebuah gerakan atau perkumpulan anti-teknologi. Gerakan ini bernama Neo-Luddite. Nama ini berasal dari Luddisme, yaitu sebuah gerakan anti industrialisasi di Inggris pada awal abad 19. Gerakan ini sering dikisahkan sebagai gerakan merusak mesin yang dilakukan oleh para buruh karena mengancam lahan kerjanya, salah satunya diperkirakan orang yang bernama Ned Ludd. Demikianlah Luddisme dikenal. Sekarang kita mengenal neo-luddite sebagai gerakan anti teknologi. Gerakan yang mempunyai manifesto bahwa: biosphere itu lebih utama dari technosphere. Mesin misalnya menurut Neo-Luddite merupakan dekadensi dalam peradaban. Ia telah mengambil alih kerja (keterampilan tangan/seni) manusia—memproduksi secara massal. Gerakan ini bahkan menolak produksi/percetakan buku atau kertas—padahal dikenal sebagai gerakan kaum intelektual. Alasannya, produksi buku (kertas) secara masal telah menghabiskan hutan-hutan di Eropa. Selain itu menurut mereka budaya baca buku telah menghilangkan tradisi bercerita atau mendongeng.

Filsafat teknologi tentu tidak terbatas pada bagaimana relasi manusia dengan artifak (dan teknofak) itu dapat dijelaskan. Jacques Ellul, seorang pemikir dari Perancis dalam bukunya The Technological Society (1964) melihat teknologi (lebih spesifik dunia teknik) sebagai entitas yang otonom, manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknik. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.

Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis dan ekologis dari kemajuan teknik hanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan limbah industri misalnya diperlukan teknologi baru untuk mengolah atau mengatasi permasalahan limbah. Sehingga teknik terus menerus maju untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Ia bergerak dengan sendirinya layaknya sebuah organisme–bagian dari laju evolusi kehidupan. Karena itu ia tidak dapat dikontrol, seperti monsternya Frankenstein.

Bahkan Teknologi di sini diandaikan seperti roh absolut Hegel yang bergerak secara masif mengontrol dan menguasai dunia-kehidupan. Tidak ada kekuatan selain dunia teknik itu sendiri. Karena teknik adalah syarat bagi kehidupan. Dengan kata lain orang yang tidak menggunakan atau anti teknologi (teknik) akan dengan sendirinya tersingkir dan tereliminasi dari dunia-kehidupan.

Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya? Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis tentang kemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang menempatkan dunia teknik sebagai syarat-syaratnya.

Don Ihde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupas terlebih dahulu relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumen diawali dengan penjelasan tentang relasi hermeneutis dalam konteks kultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu budaya menangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihde melihat bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagai instrumen kultural dimaknai dan diinterpretasikan secara berbeda; Yaitu ketika terjadi transfer teknologi (Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125).

Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang Papua Nugini misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti atau sama. Berbeda ketika mereka pertama kali melihat senapan. Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan. Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna. Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketika melihat benda teknologi tersebut.

Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Setiap budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan, berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan. Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga di Timur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi. Jadi setiap budaya mempunyai ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai praktisnya sendiri.

Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh di atas benarlah bahwa setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya menggunakan instrumen teknologi (artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia bersifat unik. Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaan pun beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat determinisitik?

Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteks ini bermasalah. Karena dalam nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi (budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan “mengontrol” dan “dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budaya-teknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional, artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.

Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai secara berbeda. Karenanya teknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat kontekstual dan mempunyai ciri multistabil (Technology and the Lifeworld, 1990: 144). Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangan khas/unik setiap budaya dalam memahami dan menjelaskan dunianya. Jadi relasi teknik dan relasi hermeneutis setiap budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda

Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi pun berbeda. Mulstabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi ini dapat dicontohkan dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyai sistem yang baik untuk navigasi kapal, tapi tetap tidak bisa mentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan. Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologi navigasional orang Barat yang bersifat hermeneutis/representasional (penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap mempunyai teknologinya sendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau pola bintang-bintang (relasi kemenubuhan).

Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik. Habermas misalnya melihat bahwa kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understanding masyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi.

Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanya mengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasio kemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai moda atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dan kepicikan.

Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan dan diatasi melalui instrumen.

Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewat pengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat benda-benda di kejauhan, termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat instrumen teknologi.

Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks (Technology and the Lifeworld, 1990: 81). Lebih jauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya pilot tidak melihat secara langsung dunia, melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.

Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi dari fungsi tubuh. Artinya secara transparan dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam relasi kemenubuhan. Hal ini dapat diilustrasikan demikian: (I-Technology)-World. Aku dan teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakan untuk membaca dan mengatasi dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi yang telah ada sejak manusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu. Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organ tubuhnya. Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.

Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupan manusia sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengundung unsur permainan. Bahkan di negara kurang maju ia menjadi semacam perhiasan saja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di Afrika yang tidak dapat menerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian menganggap jam tangan sebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini tak dapat dimengerti.

Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dunia teknologi kemudian semakin sulit dimengerti. Artinya cara kerja/sistem (teknis) artifak teknologi itu dalam beberapa hal hanya dipahami oleh para ilmuwan atau teknisi saja. Sekarang artifak teknologi tidak lagi sebatas instrumen untuk membaca dan memahami dunia. Ia telah meluas dan membentuk dunianya sendiri. Yang teknis tidak lagi terkait dengan pengalaman konkret, seperti analogi tongkat di atas. Teknologi tidak hanya memberikan makna intrumental dan fungsional saja. Ia juga secara ontologis membentuk dunianya sendiri.

Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: dunia makna dan dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan oleh Dr. Karlina Supelli (dalam seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.

ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami dengan baik oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengerti mengapa AC bisa membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja. Dengan kata lain instrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja, dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya. Radio atau televisi dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia yang makin lama makin sulit dimengerti, semakin asing.

 

This article explicate existensial precisions and the bodily perceived world in Merleau-Pontean fenomenology. A prologomena to philosophy of Maurice Merleau-Ponty.


 

Koran Tempo/Ide, Minggu, 18 April 2004

“Aku Mencerap maka Aku Ada”

 


Budi Hartanto (Pembaca Filsafat)


Bila kita telusuri dalam rentang sejarah filsafat, keutamaan pengalaman perseptual sebagai modalitas pengetahuan dapat kita temui pada aliran empirisme. Para perintis empirisme modern seperti Thomas Hobbes, John Locke, Berkeley dan Hume percaya bahwa pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang kita cerap dan perspesikan. Bahkan Berkeley secara radikal mengatakan bahwa suatu objek ada karena objek tersebut dapat dipersepsikan oleh pikiran, atau realitas yang ada sama saja dengan ide-ide batiniah (esse est percipi)  

Keutamaan persepsi lebih jauh dijelaskan oleh Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), seorang filsuf eksistensialis Prancis, lewat metode fenomenologi. Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang menekankan deskripsi terhadap struktur pengalaman yang menampakkan dirinya ke dalam kesadaran, tanpa ada bantuan teori atau asumsi-asumsi yang mendasarinya. Metode fenomenologi ini kemudian digunakan oleh Maurice Merleau-Ponty sebagai basis pemikirannya, yang selanjutnya dielaborasi ke dalam ranah estetika, etika, teori politik, sejarah dan bahasa. Filsafatnya merupakan pengembangan lebih lanjut fenomenologi Husserl, filsafat eksitensialis Heidegger, Gabriel Marcel dan psikologi Gestalt.

Fenomenologi misalnya, bagi Merleau-Ponty bukan semata-mata kajian tentang bagaimana objek menampakkan diri ke dalam struktur kesadaran, tapi lebih tentang bagaimana objek itu secara perseptual berkembang seiring dengan berkembangnya pengalaman. Dalam hal ini ia merumuskan tentang bagaimana analisis-analisis kompleks dari sumber dan status dunia perseptual itu dapat dihasilkan.

Pengalaman perseptual yang berkembang adalah dasar dari semua pengetahuan. Ini dapat kita mengerti lewat pernyataannya yang terkenal: “Dunia yang kita cerap selalu mensyaratkan dasar dari semua rasionalitas, nilai, dan eksistensi. Tesis ini tidak menghancurkan rasionalitas atau yang absolut. Melainkan hanya mencoba untuk membawanya turun ke bumi” (1974: 197).

Pernyataan tersebut membentuk asumsi bahwa apa yang kita sebut sebagai pengetahuan, sains ataupun kepercayaan mempunyai basis pada dunia yang kita cerap. Berawal dari proses pencerapan terhadap realitas empiris ini maka terbentuk apa yang disebut persepsi. Nah, dari sinilah dapat kita ketahui bahwa sesuatu yang logis selalu mempunyai dasar pada dunia perseptual.

Menurut Merleau-Ponty, semua bentuk kesadaran bersifat perseptual. Keutamaan persepsi terkait erat dengan pengalaman sebagai modus dasar cara kita berada di dunia. Persepsi di sini terbentuk dan berkembang lewat realitas empiris yang kita cerap. Inilah asumsi dasar cara pandang kita terhadap dunia.

Pemikiran Merleau-Ponty tentang fenomena persepsi dapat dijelaskan lewat proses penginderaan, yaitu bagaimana kita dapat menjelaskan fenomena yang kita cerap. Sebagai contoh bila kita melihat suatu objek, rumah misalnya, tentu kita tidak melihat rumah secara keseluruhan, ada bagian atau sisi rumah yang tak dapat kita lihat (kita tidak dapat melihat tampakan dari samping atau dari belakang). Oleh sebab itu timbul pertanyaan yaitu bagaiamana kita menjelaskan bagian rumah yang hadir dalam kesadaran kita, namun tak dapat kita lihat secara inderawi? Apakah bagian rumah yang tak terlihat yang hadir dalam kesadaran kita merupakan representasi imajiner saja. Tentu tidak demikian bila kita mencoba membuktikannya dengan mengelilingi rumah tersebut. Kita akan berasumsi itu hanyalah bagian rumah yang tersembunyi (tak terlihat), bukannya representasi imajiner. Sehingga bagian rumah yang tersembunyi lewat persepsi dapat kita antisipasi, misalnya persepsi kita tentang rumah secara keseluruhan dapat kita ketahui lewat pengalaman kita mengelingi rumah tersebut.

Contoh lain botol, botol sudah kita kenal secara geometris berbentuk seperti tabung. Sehingga dapatlah kita jelaskan, walau kita tidak melihat secara keseluruhan sisi botol, botol sebagai tabung lewat persepsi. Dari sini dapat kita ketahui bahwa persepsi, menurut Merleau-Ponty, berkembang seiring dengan berkembangnya pengalaman. Misalnya persepsi kita tentang botol kita ketahui secara geometris lewat pengalaman bahwa botol itu seperti tabung, atau persepsi kita tentang sisi rumah yang tak terlihat, dapat kita konstruksikan secara perseptual setelah kita mengelilinginya.

Namun demikian bukan berarti persepsi itu selalu benar. Persepsi tidak memberikan kebenaran seperti geometri, tapi ia lebih menghadirkan (1974: 198). Pengertian kita terhadap bagian sebuah objek yang tak dapat kita cerap itulah yang merupakan basis dari persepsi. Dan ini memberi pengertian bahwa tidak ada asumsi persepsi secara general, maksudnya adalah tidak ada pengertian persepsi yang bersifat abstrak universal. Yang ada hanyalah persepsi sebagaimana yang kita alami dalam kehidupan, yang berkembang lewat pengalaman.

Merleau-Ponty menekankan keutamaan pengalaman hidup, yaitu dengan mengatakan bahwa “pikiran yang mencerap adalah pikiran yang menjelma”. Maksudnya adalah bahwa penjelmaan pikiran mempunyai modus dasar pada pikiran yang mencerap yang diejawantahkan lewat pengalaman. Seperti contoh botol atau rumah, walaupun ada bagian yang tak nampak secara inderawi, namun lewat pengalaman pikiran yang mencerap, bagian yang tak nampak tetap hadir atau menjelma secara perseptual. Karena persepsi secara alamiah menjelma, maka subjek yang mencerap selalu berubah.

Gagasan ini tentu mengingatkan kita pada Berkeley. Berkeley secara radikal berpendapat bahwa realitas semesta termasuk tubuh kita hanyalah persepsi. Bagi Berkeley, semuanya adalah idea-idea batiniah yang dapat kita mengerti lewat pengalaman. Ini berbeda dengan Merleau-Ponty yang mempunyai pendapat bahwa dunia perseptual secara holisitik mempunyai semacam kesatuan organis, yaitu tubuh. Tubuh yang dijelaskan sebagai jenis kesatuan organis dunia perseptual itu adalah warisan pemikiran Gabriel Marcel: “aku adalah tubuhku”.

Persepsi bagi Merleau-Ponty tidak semata-mata imbas yang didapat oleh tubuh karena adanya realitas dunia eksternal. Walaupun tubuh secara definitif dibedakan dengan realitas dunia ekternal, tapi tubuh tetap secara inheren merupakan bagian yang tak terpisah dari dunia itu sendiri. Selain itu, pemikirannya tentang tubuh dan dunia perseptual mempunyai sentral pada subjek yang mencerap–tubuh adalah bagian dari subjek itu sendiri. Berbeda dengan Descartes yang mengatakan “aku berpikir…” Ponty menjelaskan bahwa adanya dunia perseptual ada karena “aku mencerap…” sehingga kesadaran dapat dimengerti sebagai konstruk perseptual yang dibangun atas dasar investigasi fenomenologis. Kesadaran bukanlah sesuatu yang menggejala di kepala kita, tapi ia lebih secara intens merupakan sekumpulan pengalaman yang terbentuk lewat tubuh kita.

Di sini Merleau-Ponty sudah melampaui dualisme jiwa-badan Descartes. Baginya tubuh merupakan flesh yang terbuat sama dengan flesh dari dunia. Karena tubuh mempunyai flesh yang sama dengan dunia maka tubuh pun dapat mengenal dan mengerti dunia (1968: 248).

Tapi bukan berarti tubuh dapat mengerti secara keseluruhan dunia realitas. Karena tubuh hanya dapat melihat dari perspektif tertentu. Dunia persepsi secara holisitik dalam pemikirannya merupakan kajian fenomena tubuh sebagai struktur eksistensi manusia. Tubuh kita merupakan instrumen untuk berada dalam dunia. Dengan tubuh kita mencerap realitas, dengan tubuh kita berada di dunia bersama objek-objek spasial lainnya.

Lalu soal fenomena kesadaran, Merleau-Ponty melihat kekeliruan cara pandang kaum empiris. Kesadaran bagi kaum empiris dibentuk oleh dunia transenden–dunia di luar pengalaman. Atau lewat sudut pandang Cartesian, ada pola subjek-objek, yaitu subjek sebagai kesadaran itu sendiri dan objek sebagai sesuatu di luar kesadaran. Cara pandang ini tentu membawa kita pada sebuah ketentuan bahwa kebenaran terbentuk lewat kesadaran yang berpikir (rasionalisme) atau persepsi yang kita dapat lewat pengalaman (empirisme). Di sini, kaum empiris akhirnya jatuh pada klaim bahwa persepsi yang kita dapat lewat kesan inderawi atomistik adalah dasar dari yang absolut.

Merleau-Ponty, dengan bertolak dari cara pandang psikologi Gestalt, berargumen bahwa apa yang dikemukakan oleh kaum empiris akan membawa kepada “experience error“. Menurutnya kita tidak mengalami pengalaman kesan inderawi atomistik, tapi lebih pada pengalaman Gestalt yang kita alami dalam pengalaman keseharian–bersifat objektif bagi diri kita sendiri. Kita hanya menemukan atau mengetahui objek dalam konteks permukaan saja. Kita menangkap benda pada dirinya sendiri lewat persepsi, tapi ini bukanlah representasi benda yang kita pikirkan, melainkan hanya sebatas apa yang kita lihat dan kenali (1968: 7).

Cara kita melihat dan mengenali objek realitas untuk itu dibatasi oleh tubuh. Jadi kesadaran adalah bukan semata-mata sesuatu yang kita rasakan dalam otak kita. Tapi lebih, kesadaran secara intensional, merupakan pengalaman yang kita rasakan dalam dan lewat tubuh sebagai organisme hidup. Kontras dengan Descartes yang menyatakan bahwa tubuh adalah mesin yang dijalankan oleh pikiran.

Fenomena kesadaran menurut Merleau-Ponty terkait erat dengan mata dan pikiran. Maka dunia pun diibaratkan seperti lukisan. Itulah yang dapat kita mengerti sepintas dari penjelasannya tentang kesadaran dan relasi antara mata dan pikiran. Kita hanya dapat melihat sesuatu yang secara intensional kita cerap.

Ada keterbatasan cakrawala dalam cara pandang kita tentang realitas. Untuk itu lukisan adalah contoh yang relevan untuk menggambarkan fenomena ini. Akan tetapi mobilitas tubuh memberikan ruang perspektif yang lebih luas. Lebih spesifik, gerakan mata dan tubuh sebagai organisme hidup memungkinkan kita untuk secara bebas menentukan penglihatan dan pengertian tentang realitas dunia.

Jadi gambar yang ada dalam lukisan tidaklah dilihat oleh pikiran, sebagaimana disinyalir oleh Descartes dengan manusia kecil yang bekerja di dalam (kepala) manusia. Merleau-Ponty melihat ada yang kurang pada Descartes, yaitu ia tidak melihat bahwa penglihatan primordial adalah; ia yang melihat tanpa memikirkannya, karena thought of seeing tetap mengandaikan adanya manusia kecil di dalam manusia (1968: 210).

Merleau-Ponty mengambil contoh lukisan-lukisan Paul Cezanne. Cezanne adalah bapak seni modern yang melukis dengan apa ia lihat lewat mata bukan lewat pikiran, lukisan yang bersifat alami bukan komposisi. Ia melukis tidak berdasarkan hukum perspektif natural. Ia misalnya tampak ingin menggapai realitas, namun pada saat yang bersamaan ingin menyangkalnya.

Cezanne, seperti yang Merleau-Ponty katakan, membiarkan dirinya jatuh pada kekacau-balauan inderawi (1964: 13). Apa yang dilukisnya adalah objek yang terdistorsi sebagai ilusi. Banyak lukisannya yang menggambarkan tampakan dari objek-objek yang bergerak, seperti contoh bila kita menggerakkan kepala, kita akan melihat objek itu bergerak, sehingga timbul ilusi yang tidak sesuai dengan perspektif.

Lukisannya yang berjudul Road Before the Mountains, Sainte-Victoire, 1898-1902 (gambar di atas) adalah salah satu contoh lukisan pemandangan gunung yang tampak dinamis. Pepohonan, gunung atau jalan tampak seperti bergerak tak beraturan. Seperti juga tampakan yang kita lihat ketika kita menggerakkan mata atau kepala. Inilah contoh bagaimana tubuh, bukan pikiran, akhirnya mengambil tempat dalam melihat realitas secara perseptual, yang kemudian dimanifestasikan ke dalam lukisan.

Untuk itu tubuh (yang di dalamnya terdapat mata dan juga otak) adalah konstruksi dari kesadaran dan pikiran yang terakumulasi dalam pengalaman perseptual yang berkembang. Tubuh kita berada di antara benda-benda lainnya di dunia ini. Namun yang membedakan adalah kita merasakan tubuh sebagai flesh yang dimiliki oleh subjek.

Lewat proses pengalaman carnal (jasmaniah) kita mengkonstruksikan dunia lewat persepsi. Dunia sebagai bentuk kristalisasi waktu, seperti lukisan dan tingkah laku manusia. Sehingga dapat kita tentukan bahwa beberapa jenis konstruksi kebenaran hanyalah semata deskripsi naif dari persepsi terhadap realitas, seperti simulacra (gambaran palsu yang bersifat sementara). “Ada” yang objektif hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat fenomenal subjektif.

 

Bibliografi

 

Merleau-Ponty, Maurice (1974) Phenomenology, Language and Sociology: Selected

Essays of Merleau-Ponty. Edited by John O’Neill. London: Heinemann.

 

—————————–, (1964) Sense and Non-Sense, translated by Herbert L Dreyfus and Patricia Allen Dreyfus (Evanston: Northwestern University Press).

 

—————————-, (1968) The Visible and the Invisible, Followed by Working Notes, translated by Alphonso Lingis Evanston: Northwestern University Press).

 

 

 

« Previous PageNext Page »